Friday, 6 June 2014

Pilihlah Jokowi – JK (18)



Pilihlah Jokowi – JK (18)

Anda tidak perlu membandingkan London atau Amsterdam dengan Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia untuk melihat betapa tertinggalnya kota-kota kita dan betapa tidak sehatnya lingkungan hidup di kota-kota di Indonesia. Anda cukup membandingkan Kuala Lumpur dengan Jakarta dan tak perlu melihat banyak sudut, cukup lihat masalah air bersih saja maka Anda akan paham bahwa kehidupan masyarakat di kota-kota di Indonesia sangat tidak sehat.

Di Kuala Lumpur orang dapat jajan atau membeli makanan dari yang kelas restoran sampai yang di pinggir jalan tanpa kuatir dengan air yang digunakan, karena semua air yang digunakan berasal dari PAM yang kebersihannya dijamin oleh pemerintah kota. Bandingkan jika Anda makan sate di pinggir jalan di Jakarta, coba tanya dari mana air yang digunakan untuk membuat bumbu, jangan-jangan dari sumur yang digali tidak jauh dari saluran air kotor yang bau dan lebih parah lagi ketika Anda makan di restoran yang tampaknya bersih tetapi air yang digunakan dari sumur pompa yang belum tentu memenuhi standar air bersih.

Saat ini, lebih dari separuh penduduk Jakarta belum mendapat air bersih dari PAM dan air bersih hanyalah salah satu masalah yang harus dibenahi agar masyarakat yang tinggal di kota dapat menikmati hidup yang ehat. Masih banyak masalah lain yang juga perlu segera ditangani antara lain sistem pembuangan air kotor, sistem pengolahan sampah, dan lain-lain sampai ke masalah transportasi.

Calon Presiden di Amerika Serikat bahkan Calon Perdana Menteri di Malaysia, tidak perlu memamerkan kemampuannya memimpin kota atau membuktikan mampu mengatasi masalah-masalah kota, karena administrasi kota-kota di negara mereka sudah berjalan dengan baik sehingga kamampuan yang dibutuhkan untuk menjadi presiden atau perdana menteri sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.

Untuk memahami masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia kita harus menengok ke belakang. Pemerintah kolonial Belanda melakukan investasi untuk kehidupan kota yang sehat hanya sampai sekitar tahun 1939. Setelah itu ada perang dan  kemudian Indonesia Medeka, ada revolusi, ada gontok-gontokan, dan ada pemberontakan. Sementara investasi masih belum banyak dilakukan sudah terjadi urbanisasi besar-besaran sehingga kemampuan kota memberikan pelayanan kepada masyarakatnya menjadi semakin tidak memadai.

Selama pemerintahan Pak Harto memang ada upaya memperbaiki kehidupan di kota termasuk juga penyediaan air bersih, tetapi karena jabatan walikoa diangkat berdasarkan kongkalikong para politisi di DPRD untuk mengusulkan 3 nama lalu calon yang mampu memberi tebusan sejumlah uang ke pemerintah pusat yang dapat menduduki kursi walikota akibatbnya terjadi korupsi dan nepotisme. Setiap ganti walikota Dirut PDAM diganti dan penggatinya diambil dari kalangan keluarga walikota. Lihat saja banyak pejabat PDAM berasal dari keluarga bekas walikota. Bahkan Walikota Makassar ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK juga berkaitan dengan PDAM.

Masalah air bersih, sampah dan sebagainya memang menjadi urusan lokal, yang harus ditangani oleh walikota dan bupati, tetapi tanpa kebijakan yang jelas dan benar dari pemerintah pusat, tentu para kepala daerah akan kesulitan mengatasinya sendiri-sendiri.

Bagaimana membenahi pemerintahan kota agar dapat berperan melayani masyarakat, sudah dimulai dengan menetapkan kota dan kabupaten sebagai basis otonomi daerah lalu diselenggarakan pemilihan walikota dan bupati secara langsung sejak tahun 2004 dan agar para walikota dan bupati dapat mengelola wilayahnya dengan lebih leluasa, diterbitkan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Jokowi adalah generasii pertama walikota yang dipilih langsung. Berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo dan diusung oleh PDI-Perjuangan, pasangan Jokowi-Rudi menang tipis dengan perolehan suara sebanyak 36,62 % pada pemilihan walikota Solo tahun 2005. Sedangkan lawannya, yaitu Purnomo-Istar memperoleh 29,08 persen. Tetapi pada pemilihan untuk masa jabatan kedua dan masih berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo, Jokowi – Rudy mendapat 90,09 suara. Artinya Jokowi berhasil membuat Solo menjadi lebih baik dan hasil kerjanya diakui oleh warganya.

Selama 7 tahun memimpin Solo, Jokowi sudah paham apa yang harus dilakukan oleh seorang walikota agar kehidupan kota menjadi lebih sehat dan lebih baik.  Berbekal pengetahuan dan pengalaman tersebut, setelah menjadi presiden, Jokowi tentu dapat mendorong kota dan kabupaten di Indonesia agar dapat memberikan lingkungan hidup yang lebih sehat dan lebih nyaman kepada masyarakatnya.

Jokowi memang bukan satu-satunya walikota yang berprestasi, ada beberapa walikota dan bupati yang juga baik tetapi dari 500 lebih jabatan bupati dan walikota, masih banyak yang harus diperbaiki. Anda masih ingat ada bupati yang berani melarang Pesawat Merpati mendarat hanya gara-gara dia tidak mendapat tiket untuk pulang ke kotanya. Kejadian seperti itu akan berlalu begitu saja di mata seorang presiden yang tidak memahami apa yang harus dilakukan oleh seorang bupati atau walikota tetapi di mata orang yang berpengalaman, kejadian seperti itu akan memicu keluarnya aturan agar para bupati dan walikota dapat mendahulukan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingannya sendiri.

Jika Anda berharap dalam lima tauh ke depan kehidupan kota dan kabupaten di Indonesia menjadi lebih sehat dan lebih nyaman, pilihlah Jokowi pada tanggal 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!


***


Pilihlah Jokowi – JK (17)

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang, sudah ada 6 presiden yang pernah memimpin Indonesia. Coba Anda perhatikan, apakah ada presiden Indonesia yang pernah menjadi pengusaha? Jawabnya jelas tidak ada. Dari 6 presiden yang lalu, 2 di antaranya adalah tentara dan mantan tentara. Jadi jika Anda ingin Indonesia berubah dan maju, jangan pilih lagi calon presiden yang bekas tentara, agar di catat di dalam sejarah Indonesia, 2 tentara sudah cukup mendapat kesempatan menjadi presiden dan kesempatan berikutnya harus diberikan kepada orang dari latar belakang yang berbeda.

Bahwa seorang pengusaha diberi kesempatan menjadi penguasa memang ada berbahayanya terutama jika sang pengusaha dapat memperbesar usahanya dengan memanfaatkan kekuasaan negara dan pengusaha yang dapat memanfaatkan kekuasaan negara untuk memperbesar usaha bukan hanya mereka yang bergerak di bidang usaha yang produk atau jasanya dibeli oleh negara tetapi juga mereka yang kegiatan usahanya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Contohnya  importir daging sapi yang sudah terbukti dapat memanfaatkan kekuasaan negara untuk membesarkan usahanya.

Jokowi tidak termasuk pengusaha besar karena skala usaha yang pernah dijalaninya sebatas kota Solo. Kalaupun ada usaha dari Jokowi setelah me njadi presiden nanti, memberi kemudahan agar usaha mebel yang pernah digelutinya menjadi lebih kondusif tentu yang akan menikmati semua pengusaha mebel yang jumlahnya banyak.

Ketika Belanda mulai menjalankan politik etis dengan memberikan pendidikan kepada orang-orang Indonesia, tujuan utamanya adalah, agar para lulusan dapat bekerja di pemerintahan yaitu menjadi Ambtenar (PNS sekarang) dan dengan gaji yang relatif besar pada saat itu, cita-cita anak muda yang mendapat kesempatan sekolah adalah menjadi Ambtenar. Kebiasaan itu masih terbawa hingga sekarang, lihat saja pada saat penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, banyak sekali yang mendaftar.

Di jaman dahulu yang menjadi pengusaha adalah orang Belanda dan orang asing lainnya, jarang sekali Bumi Putera yang mau menjadi pengusaha. Akibatnya, setelah merdeka dan sampai sekarang, Indonesia masih kekurangan pengusaha yang mampu memajukan ekonomi bangsa. Di bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, jumlah dan kualitas pengusaha Indonesia masih jauh tertinggal dan untuk kemajuan bangsa, dorongan agar lebih banyak orang Indonesia mau menjadi pengusaha harus terus dilakukan.

Jika nanti Jokowi yang pernah menjadi pengusaha dapat menjadi presiden, bukan hanya iklim usaha yang dapat disehatkan tetapi juga keberadaannya dapat memotivasi orang Indonesia, terutama anak-anak muda, bahwa orang dapat mulai berkarya sebagai pengusaha dan tidak perlu menjadi pengusaha besar, untuk dapat menjadi presiden.

Jika Anda berharap bahwa selama lima tahun ke depan wajah Indonesia berubah karena dipimpin oleh orang yang pernah menjadi pengusaha, tidak ada pilihan lain selain memilih Jokowi agar menjadi presiden pada 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

***



Pilihlah Jokowi – JK (16)

Perhatikan Berita Liputan6.com berikut. "Saya menjamin menteri agama dari kalangan NU kalau Jokowi-JK menang," kata Cak Imin di hadapan ratusan warga NU yang hadir dalam acara tasyakuran kemenangan PKB Jatim di The Empire Palace, Surabaya, Jawa Timur, Minggu 25 Mei 2014. Sementara itu, calon wakil presiden Jusuf Kalla yang hadir di acara tasyakuran itu mengamini pernyataan Cak Imin. JK optimistis bahwa menteri agama akan berasal dari kalangan NU apabila dirinya dan Jokowi menang dalam Pilpres 2014. "Itu sudah bisa dipastikan," kata JK seraya tertawa.

Jokowi sudah di fait acccompli oleh JK. Menyadari kenyataan itu, apakah Jokowi menjadi sungkan kepada JK yang lebih senior dan lebih berpengalaman lalu mengambil siap membiarkan saja sehinggga janji Menteri Agama dari NU menjadi janji yang disetujui oleh Jokowi juga. Apakah Jokowi membiarkan saja janji itu menjadi janji Jokowi agar tidak kehilangan pemilih? Perhatikan berita berikut.

"Kita tidak berbicara masalah menteri. Sudah saya katakan itu," kata Jokowi, menyanggah pernyataan Muhaimin yang partainya merupakan salah satu mitra koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rabu (28/5/2014).

Walaupun JK lebih senior dan lebih berpengalaman dan walaupun ada resiko kehilangan pemilih, tetapi dengan tegas Jokowi membantah ada janji bahwa Menteri Agama orang NU.

Jokowi bukan tentara dan  bukan  bekas tentara, tetapi sangat jelas bahwa Jokowi adalah seorang pemberani yang konsisten yang dengan tegas mempertahankan prinsip yang dianutnya yaitu tidak ada bagi-bagi kekuasaan. Jokowi memahami bahwa bagi-bagi kekuasaan berdampak buruk bagi jalannya pemerintahan dan pasti akan merugikan rakyat.  Di lain pihak, pesaingnya, yang katanya bekas tentara malah sudah bagi-bagi kekuasaan jauh sebelum kampanye resmi dimulai.

Sikap Jokowi tampak sangat kontras dengan sikap JK yang tidak mengormati pasangannya dan mau jalan sendiri demi kepentingannya sendiri. Dengan kejadian itu, JK sudah memberi sinyal, akan menghadapi Jokowi dalam pemerintahan mendatang dengan  semangat yang sama ketika menjadi Wakil Presiden dalam pemerintahan SBY dan apa yang akan dilakukan JK sudah terbaca oleh sejumlah pengamat. Perhatikan berita berikut.

Para analis kuatir Jusuf Kalla akan membawa Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Chairul Tanjung dan Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat untuk jadi menteri di Kabinet Jokowi jika Jokowi terpilih jadi presiden. ‘’Isu itu sudah beredar di ruang publik dan masyarakat politik sebagai mimpi buruk Kabinet Transaksional,’’ kata Fathor Rasi MA, peneliti The New Indonesia Foundation (Yayasan Indonesia Baru).

Dalam tim kampanye sekarang Anies Baswedan sudah dilibatkan dan ada kemungkinan yang lain akan menyusul sehingga apa yang dikuatirkan memang benar terjadi. Tak heran, belum juga pemilihan usai, sudah ada gesekan di dalam tim kampanye. Perhatikan berita berikut.

"Tim Pemenangan Jokowi-JK harus lebih concern menggarap mesin politik dalam memenangkan 9 Juli mendatang. Ketimbang terlalu banyak mengakomodir peran-peran orang yang belum jelas basis riilnya," kata Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar dalam pesan singkatnya yang diterima detikcom, Kamis (5/6/2014).

Adanya friksi di internal tim kampanye sebaiknya jangan ditutupi tetapi dibiarkan dilihat oleh masyarkat sehingga orang tahu siapa menggunting di dalam lipatan dan siapa yang menjadi musuh di dalam selimut dan kita berharap, para pemilih tidak luntur kepercayanaannya kepada Jokowi karena percaya bahwa Jokowi akan dapat menghadapi semua persoalan secara proporsional dan konstitusional.

Hasil survey menunjukkan bahwa di Jakarta dukungan pada Jokowi kalah dibandingkan dengan pesaingnya, ada kemungkinan orang melihat bagaimana Jokowi dapat bekerjasama dengan Ahok yang sama-sama jujur dan bekerja sepenuhnya untuk rakyat, lalu meragukan Jokowi dapat bekerjasama dengan JK.

Ada baiknya dijelaskan kepada masyarakat luas, bahwa pola kerjasama antara Jokowi dan Ahok di Jakarta, tidak mungkin diterapkan oleh Jokowi dalam menghadapi JK setelah nanti terpilih menjadi presiden. Jokowi harus memilih pola kerjasama yang berbeda yang dapat menjamin bahwa jalannya pemerintahan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Memahami hubungan Jokowi dengan JK, masyarakat harus sadar bahwa dukungan yang diberikan kepada Jokowi tidak cukup hanya sampai pada hari pemilihan, setelah itu kita semua masih harus terus mengawasi agar Jokowi dapat menjalankan tugasnnya dengan baik dan benar.

Memang kita menghadapi pilihan yang tidak ideal tetapi dari dua pasangan yang ada, Jokowi-lah yang paling baik dan paling berhak untuk dipilih menjadi presiden.

Merdeka !!!!!

***


Pilihlah Jokowi – JK (15)

Sesorang mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden pasti sudah mempunyai konstituen yang diharapkan akan memilihnya. Mengenai pasangannya, seorang calon persiden tentu akan memilih calon wakil presiden dengan konstituen yang berbeda sehingga jika digabung, jumlah yang dapat diharapkan memilih, akan bertambah banyak. Dengan cara itu kita dapat mengatakan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden bersinergi untuk mendapatkan jumlah pemilih yang lebih banyak. Tetapi hal itu tidak terjadi pada pasangan Jokowi – JK yang dapat kita lihat dari komentar seorang calon pemilih Jokowi yang berinisial AS ke saya, “Ahmad Jusuf Kalla dan gerbongnya sangat tidak menarik”

Semua orang yang menghendaki perubahan dan sudah melihat bagaimana dalam waktu singkat Jokowi berhasil mengubah Jakarta, pasti akan memilih Jokowi dan tidak mungkin yang lain. Salah satu contoh perubahan yang dilakukan Jokowi dan dilihat oleh masayarakat luas adalah Waduk Pluit. Waduk itu sebelumnya kumuh lalu diubah menjadi asri tanpa mengorbankan rakyat kecil, malah mereka yang sebelumnya tinggal di kawasan waduk dapat tinggal di rumah susun yang lebih sehat.

Semua orang yang menghendaki korupsi diberantas dan sudah melihat bagaimana Jokowi memberantas korupsi di Pemprov DKI Jakarta, pasti akan memilih Jokowi dan tidak mungkin yang lain. Seperti sudah dijelaskan oleh Jokowi bahwa memberantas korupsi tidak mungkin hanya dilakukan dengan menegakkan hukum karena yang lebih penting adalah memperbaiki sistemnya. Pada awal menjabat sebagai gubernur DKI, Jokowi memperbaiki kesejahteraan karyawan dan pejabat pemda lalu menerapkan pembayaran pajak daerah secara on line. Hasilnya pendapat daerah melonjak tajam. Setelah itu korupsi dibabat dengan berani menggusur pajabat yang masih korup.

Semua orang yang menghendaki nasionalisme dijunjungg tinggi dan sudah melihat bagaimana Jokowi mempertahankan posisi Lurah Susan, pasti akan memilih Jokowi dan tidak mungkin yang lain. Untuk mengisi jabatan lurah, Jokowi melakukan terobosan, menyelenggarakan lelang jabatan lurah. Semua calon diseleksi dengan bantuan konsultan SDM yang profesional sehingga di dapat calon yang memang unggul tanpa melihat latar belakang suku, agama, maupun kedekatan. Menghadapi pendemo Muslim yang menuntut agar Lurah Susan yang Nasrani dipindahkan, Jokowi tidak bergeming lalu mengajak para pendemo makan siang bersama. Setelah itu persoalan selesai.

Masih banyak lagi berbagai alasan, orang memilih Jokowi dan jika semuanya dijumlahkan dapat diduga mencapai sekitar 70 % dari pemilih. Di samping banyak jumlahnya, calon pemilih Jokowi  juga sulit dibujuk atau ditarik ke kubu pesaing karena kelebihan yang ada pada Jokowi tidak ada pada pesaing.

Sebagai bekas pengurus HMI dan termasuk salah satu tokoh Islam yang terkemuka di Indonesia serta masih menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia, siapa yang akan memilih JK sudah dapat dipastikan, yaitu Muslim yang berharap pengaruh Islam di Indonesia akan tetap besar bahkan berkembang. Mereka adalah orang yang mensyaratkan bahwa calon presiden harus dapat membuktikan ke-Islam-annya dan salah satunya bisa mengaji.

Untuk memastikan konstituennya memilih Jokowi sebagai presiden, JK menjual Jokowi dengan kemasan Islam, mempromosikan kepada konstituennya bahwa Jokowi fasih mengaji bahkan untuk membuktikannya, JK menantang diselenggarakan lomba mengaji antara capres. Apakah dengan cara itu konstituen JK akan memilih Jokowi? Sangat diragukan, karena pesaing Jokowi adalah Muslim tulen yang didukung oleh partai Islam,  yaitu PKS, PAN dan PPP. Ada kemungkinan konstituen JK yang akan memilih Jokowi Nol Besar.

Upaya JK menjual Jokowi dengan bungkus Islam, bukan hanya tidak akan mendapatkan pemilih dari kalangan Muslim, kecuali sahabat dan kerabat dekat JK, tetapi malah akan merusak kepercayaan para pemilih Jokowi yang jumlahnya sekitar 70 % suara pemilih. Artinya sepak terjang JK tidak menambah jumlah pemilih bagi Jokowi tetapi malah berpotensi menjadi unsur yang menggembosi dari dalam.

Alasan pemilih Jokowi tidak suka pada JK ditulis “gerbongnya sangat tidak menarik” dan pernyataan teesebut tidak didasari kecurigaan tetapi diangkat dari bukti yang sudah dilakukan JK pada waktu menjabat Wakil Presiden dalam pemerintahan SBY, yaitu  memasukkan orang-orang HMI ke dalam jajaran pemerintahan bahkkan bagi JK keponakan sendiri dijadikan menteri juga tidak menjadi halangan.

Walapun  demikian, secantik apa pun permainan JK pasti akan dibuat tidak berkutik oleh Jokowi yang akan menyeleksi orang-orang yang akan menjadi membantunya secara profesional dan mengingat secara konstitusi, wakil presiden hanyalah ban serep, kita yakin Jokowi akan dapat mengendalikan JK agar tidak mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan mendatang.

Anda yang sudah mempunyai alasan yang kuat untuk memilih Jokowi tak perlu kuatir dengan keberadaan JK sebagai Wakil Presiden, Jokowi pasti akan melakukan yang terbaik bagi Indonesia.

Merdeka !!!!!
 
***

Pilihlah Jokowi – JK (14)

Agar para Ketua DPD Partai Demokrat memahami visi dan misi dari kedua calon presiden, SBY mengundang para calon untuk memaparkan visi dan misi masing-masing di hadapan para ketua DPD Partai Demokrat yang sedang berkumpul di Jakarta. Tetapi yang hadir hanya Prabowo bersama Hatta sedangkan pasangan Jokowi dan JK tidak hadir. Lalu apakah para ketua DPD Partai Demokrat tidak dapat mengetahui serta mamahami visi dan misi dari Jokowi?

Bahwa visi dan misi dibuat tertulis dan dipaparkan adalah sesuatu yang relatif baru. Pada waktu Bung Karno menjadi presiden, belum ada istilah visi dan misi tetapi dari apa yang ditulis oleh Bung Karno, kita dapat mengetahui, apa sebenarnya visi dan misi Bung Karno. Menggunakan bahasa yang berbeda Bung Karno menjelaskan bahwa tujuan jangka panjang bangsa Indonesia adalah Masyarakat Adil dan Makmur. Memang selama pemerintahan Bung Karno tujuan jangka panjang tersebut belum tercapai, tetapi melalui program nation and caharacter building, Bung Karno sudah meletakkan dasar yang kokoh bagi tercapainya tujuan jangka panjang tersebut.

Sebelum menjadi presiden, Pak Harto tidak pernah ditanya visi dan misinya, tetapi dari sikap hidupnya Bung Karno sudah dapat melihat bahwa tentara yang bernama Soeharto itu mempunyai visi dan misi yang dapat menjamin agar Indonesia seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno dapat terus bergerak sampai ke tujuannya. Setelah mendapat pengalihan kekuasaan dari Bung Karno, Pak Harto menjaga agar NKRI tetap tegak berdiri sambil berusaha mensejahterakan rakyat dengan melakukan pembangunan serta menegakkan ketertiban umum.

Di jaman sekarang, sudah menjadi tradisi bahwa perusahaan-perusahaan menuliskan visi dan misi masing-masing yang akan dijadikan pegangan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Tetapi berbeda dengan perushaan swasta di mana pemiliknya sendiri yang merumuskan visi dan misinya, organisasi pemerintah yang ikut terdorong menyusun visi dan misi, biasanya menyerahkan penulisan visi dan misi kepada konsultan dan karena pejabatnya berganti, visi dan misi tersebut biasanya hanya menjadi hiasan dinding. Dari kenyataan itu, kita dapat mengatakan bahwa orang yang terbiasa bekerja berdasarkan perintah, yaitu tentara, polisi, dan semua birokrat tidak terbiasa merumuskan visi dan misi dengan kesadaran sendiri.

Gubernur Jakarta sebelum Jokowi adalah seorang birokrat bernama Fauzi Bowo, visi dan misinya pasti tidak jelek, buktinya berhasil mengalahkan Adang Daradjatun dalam memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta. Tetapi setelah menjadi gubernur, tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh Foke, jalannya pemerintahan relatif sama seperti sebelumnya. Karena itu untuk memahami visi dan misi seorang calon presiden jangan hanya membaca apa yang ditulis, karena yang ditulis hampir pasti dikerjakan oleh konsultan atau orang yang dianggap ahli dan jangan mendengarkan apa yang dipaparkan, karena apa yang dipaparkan hanya penjelasan dari apa yang tertulis. Untuk memahami visi dan misi dari seorang calon preisden harus melihat karyanya dan terutama reaksi spontannya atas masalah yang dihadapi.

Visi dan misi pasangan Jokowi – JK sudah dirumuskan tetapi tidak berarti makna dari visi dan misi tersebut sama bagi Jokowi dan JK. Lihat apa yang sudah dikerjakan oleh keduanya maka kita akan memahami perbedaan antara Jokowi dan JK.

JK mengatakan akan membangun infrastruktur dan tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur adalah hal yang penting bagi kemajuan Indonesia tetapi lihat apa arti pembangunan infrastruktur bagi JK secara pribadi. Pada waktu menjabat sebagai Wakil Presiden di pemerintahan SBY, JK menangani pembangunan Monorel, palaksanaannya diserahkan kepada sebuah konsorsium di mana PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan milik JK menjadi salah satu pemegang saham. Kita dapat melihat bahwa keinginan JK membangun infrastuktur belum tentu semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara karena ada kepentingan pribadi, yaitu agar perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi ikut berkembang.

Jika Jokowi ditanya apa yang akan dilakukan setelah menjadi presiden lalu menyebut agar Indonesia menjadi pengekspor mebel terbesar, tentu saja kita dapat mengatakan, ada kepentingan pribadi di balik visi dan misi itu. Tetapi perhatikan apa yang dikatakan oleh Jokowi di pada Rapat Koordinasi Nasional V Tim Pengendali Inflasi Daerah 2014 di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Rapat diegelar pada tanggal 21 Mei yang lalu dan dipimpin oleh SBY serta dihadiri oleh Gubernur dari Seluruh Indonesia, Jokowi mengatakan bahwa laut harus menjadi jalan tol untuk menekan biaya logistik.

Apa yang diungkap oleh Jokowi memang berdasarkan pengalaman pribadi, yaitu mengirim barang ke Eropa ternyata lebih murah dibandingkan dengan mengirim barang ke Papua. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi calon presiden, pengalaman pribadi itu mucul dan dijadikan visi dan misi bahwa biaya logistik harus dibuat murah dan karena sebagain besar wilayah Indonesia berbentuk laut maka laut harus dijadikan jalan tol.

Di dalam pembangunan terutama di bidang transportasi dikenal istilah “Ship follow the trade” dan “Trade follow the ship”. Orang-orang yang terbiasa bekerja berdasarkan perintah dan para ekonom yang biasa melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan nilai ekonomi, cenderung selalu menerapkan prinsip “Ship follow the trade” yaitu membeli kapal jika angkutan sudah pasti ada. Tetapi seorang pemimpin yang visioner berani menerapkan prinsip “Trade follow the ship” yaitu membeli kapal terlebih dahulu karena yakin angkutan secara bertahap akan datang. Dengan adanya kapal, barang lokal dapat dicoba di bawa ke daerah lain untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi, akibatnya kegiatan ekonomi akan berkembang dan kemakmuran akan lebih merata. Pendekatan “Trade follow the ship” memang mengandung resiko yaitu menderia rugi pada awalnya tetapi manfaatkan dalam pembangunan ekonomi terutama pemerataan ke seluruh pelosok tanah air akan sangat besar.

Dari ungkapan menjadikan laut jalan tol, sudah tampak dengan jelas bahwa visi dan misi Jokowi adalah mensejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Akibat kemudahan transportasi, kemakmuran penduduk luar Jawa akan meningkat dan diharapkan akan memicu migrasi sehingga kepadatan penduduk di Jawa dapat berkurang dan selanjutnya akan mengurangi jumlah penduduk miskin di Jawa.

Untuk meyakini bahwa seorang calon presiden akan mampu memberantas korupsi jangan melihat dari visi dan misinya yang sudah ditulis dalam lembaran-lembaran yang indah tetapi lihat dari apa yang pernah dilakukan. Bagaimana kita dapat percaya pada seorang calon presiden yang mangatakan akan memberantas korupsi padahal dalam parjalanan hidupnya belum pernah memberantas korupsi. Sementara apa yang dilakukan oleh Jokowi terhadap pejabat DKI yang korup sudah diberitakan dan diketahui banyak oarng.

Jika Anda berharap pemerintahan mendatang akan bekerja untuk rakyat yang artinya juga bekerja untuk Anda, tidak ada pilihan lain selain memilih Jokowi pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!  

***


Pilihlah Jokowi – JK (13)

Salah satu syarat penting untuk dapat menjalankan tugas sebagai presiden adalah mempunyai kemampuan berfikir mandiri sehingga dapat menambil keputusan sendiri. Di dalam catatan sejarah Indonesia ada dua negarawan besar yang dapat menjalankan tugasnya sebagai presiden dengan prestasi yang luar biasa, karena mampu berfikir mandiri, yaitu Bung Karno dan Pak Harto.

Bung Karno tidak pernah bekerja pada orang lain dan sejak muda selalu menjadi ketua atau pemimpin. Pada waktu harus memilih antara bekerja sama dengan Jepang atau melakukan garakan bawah tanah, Hatta tidak berani mengambil keputusan dan Bung Karno yang mengambil langkah menerima ajakan Jepang untuk bekerjasama. Pada waktu menghadapi Pemilu di tahun 1950-an dan melihat kemungkinan Indonesia akan menjadi negara Islam, Bung Karno berani menghidupkan kembali PKI.

Pak Harto memang tentara, tetapi tentara pada jaman revolusi di mana komandannya mempunyai kebebasan untuk mengambil langkah sendiri. Mengetahui ada truk Belanda yang membawa senjata yang akan diserahkan kepada Sultan Hamangku Buwono IX selaku Menhankam, Pak Harto melakukan penghadangan dan mengambil senjata-senjata tersebut karena merasa senjata itu dibutuhkan oleh pasukannya. Akibatnya Menhankam mengancam akan mengundurkan diri, tetapi berhasil dicegah oleh Bung Karno dan senjata tetap dikuasai oleh Pak Harto.

Semasa kepemimpinan Pak Harto organisasi tentara terus dibenahi sehingga tidak ada lagi peluang bagi para komandan mengambil inisiatif sendiri dan sejak Benny Moerdani menjadi Panglima TNI, semua komandan tentara harus bekerja berdasarkan perintah dan orang yang terbiasa bekerja berdasarkan perintah selama bertahun-tahun, setelah lepas dari dinas tentara akan sulit berfikir mandiri.

Ada beberpa tentara dan polisi yang berhasil menduduki jabatan gubernur setelah reformasi,  antara lain Bibit Waluyo di Gubernur Jawa Tengah dan I Made Mangku Pastika di Bali. Tetapi setelah mendduduki jabatan gubernur tidak ada tentara dan polisi yang prestasinya menonjol. Bibit Waluyo dikalahkan oleh Ganjar Pranowo pada waktu maju untuk masa jabatan kedua. I Made Mangku Pastika masih beruntung, dengan kelebihan suara yang sangat tipis masih dapat mempertahankan kursi gubernur untuk periode kedua, tetapi prestasinya kalah jauh dibandingkan dengan Jokowi yang dalam watu singkat sudah jadi perbincangan banyak orang.

Orang yang biasa bekerja perdasarkan perintah setelah menduduki jabatan yang memerlukan berfikir mandiri, banyak mengandalkan masukan dari staf dan di alam birokrasi yang bokbrok, ketidakmampuan berfikir mandiri dapat menjerumuskan sang pemimpin, terseret korupsi yang digerakkan oleh bawahannya, buktinya dapat dilihat dari pejabat yang ditangkap oleh KPK

Mengawali tugasnya sebagai presiden, Ibu Mega banyak dilecehkan sebagai Ibu rumah tangga yang menjadi presiden. Tetapi jika kita lihat bagaimana Ibu Mega berani memerintahkan agar pembangunan MRT yang sudah disiapkan dengan matang oleh Departeman Perhubungan untuk ditinjau ulang, kita dapat mengatakan bahwa kemampuan berfikir mandiri sangat penting bagi seorang yang menduduki jabatan presiden.

Jokowi tidak pernah bekerja berdasarkan perintah orang lain dan pada waktu menjabat Walikota Solo banyak terobosan yang dilakukan karena mampu berfikir mandiri, tetapi tidak diberitakan secara luas karena ruang lingkupnya masih kecil. Setelah menjabat Gubernur DKI Jakarta, kemampuannya berfikir mandiri sangat tampak, pada waktu melakukan penertiban Waduk Pluit, tak segan-segan mendamprat bawahannnya yang korup dan tidak bisa bekerja profesional, kepala UPT Rusun DKI pun dipecat.

Banyak orang menyangka bahwa tentara terbiasa bertindak tegas, tetapi orang lupa bahwa tentara memang harus berttindak tegas dalam rangka menjalankan perintah. Tetapi tanpa ada perintah, belum tentu seorang mantan tentara mampu bertindak tegas. Karena itu, ketegasan seorang pemimpin harus dilihat dari kinerjanya yang harus teruji terutama ketika menghadapi orang dekatnya.

Pada waktu meluncurkan program satu hari dalam sebulan, pergi kerja menggunakan angkutan umum, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menolak, tetapi Jokowi tidak peduli dan ahirnya sang Wagub pun terpaksa mengikutinya. Tentu saja, jika Jokowi menjadi presiden tantangannnya akan lebih berat dan apa yang harus dihadapi sudah tampak dari sekarang.

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada tanggal 27 Mei yang lalu mengatakan, "Jusuf Kalla akan lebih dominan di pemerintahan Jokowi 2014, ketimbang di pemerintahan SBY 2004. Namun di permukaan dan publik, JK akan lebih bermain cantik untuk tetap mengedepankan Jokowi karena Jokowi yg menjadi presidennya."  

Denny JA mengungkapkan kesimpulannya itu setelah berdiskusi dengan JK pada Senin (26/5) pagi untuk mengetahui pandangannya soal pemerintahan di 2014 nanti.

Dengan memahami bahwa Jokowi mempunyai kemampuan berfikir mandiri dan terbukti dapat bertindak tegas walaupun menghadapi orang terdekatnya, kita tidak perlu ragu bahwa secantik apa pun permainan yang akan dijalankan oleh JK, Jokowi pasti dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Merdeka !!!!!

***


Pilihlah Jokowi – JK (12)

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden yang sudah ditandatangani oleh SBY kemarin petang, mulai hari ini Jokowi resmi menjadi gubernur non-aktif atau diberhentikan sementara dari jabatannya hingga KPU menetapkan presiden dan wapres terpilih pada 22-24 Agustus.

JK yang berpasangan dengan Jokowi tidak memegang jabatan pemerintahan tetapi menjabat sebagai Ketua PMI dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ketika ditanya wartawan pada hari Kamis 22 Mei, di Markas PKPI, apakah ada rencana melepas kedua jabatannya tersebut, JK menjawab,  "Ndak ada rencana seperti itu, nantilah ada waktunya, pada masa kepengurusan berakhir." Artinya JK tidak akan melepas kedua jabatan tersebut walaupun nanti menjabat sebagai Wakil Presiden.

Mengenai jabatan Ketua PMI karena bersifat kemanusiaan yang tidak berkaitan dengan politik, mungkin tidak ada masalah. Tetapi tentang Ketua Unun DMI, JK mengatakan, di acara Rakernas Muslimat NU, Jumat (30/5), "Dewan masjid sama sekali tidak akan dan tidak boleh melaksanakan kegiatan politik apalagi pernyataan. Walaupun saya ketuanya, saya tidak akan membuat pernyataan politik di sini."

Mungkin JK benar tidak akan memanfaatkan masjid untuk kegiatan politik apalagi yang berkaitan dengan pemilihan presiden tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masjid dijadikan tempat untuk menyebarkan kampanye hitam dengan sasaran Jokowi yang tentu juga merugikan JK karena Jokowi dan JK adalah satu paket.

Jumat pagi yang lalu, Ketua DPC PDI-Perjuangan Jakarta Timur mengeluarkan istruksi, ”Kader banteng yang beragama Islam diinstruksikan untuk melaksanakan shalat Jumat hari ini. Tujuannya, memantau materi ceramah khotib Jumat.”

Beredarnya intstruksi tersebut memancing reaksi, ada yang menulis, “GILA EMANG NIH JOKOWI & PDIP, MIRIP INTEL, POLISI, TENTARA ZAMAN ORDE BARU SOK SOK NGAWASIN KHUTBAH JUMAT. EMANG LOE SIAPA? BLM BERKUASA AJA DAH NGANCAM DEMOKRASI, BERGAYA ALA FASIS. BRENGSEK!”

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Saleh P. Daulay, mengatakan, "Kenapa tidak sekalian sweeping saja? Kenapa mesti mengirim 'tukang intip'? Saya khawatir, ini bisa dilihat masyarakat sebagai upaya pengembalian rezim otoriter dengan masuknya intervensi ke rumah-rumah ibadah. Lagi pula, yang potensial memanfaatkan masjid itu ya tim Jokowi-JK. Bukankah Ketua Umum Dewan Mesjid Indonesia adalah JK? Jaringan mesjid se-Indonesia itu dikuasai JK. Merekalah yang paling mungkin memanfaatkan masjid-masjid untuk hal-hal seperti itu."

Bahkan Ketua MUI Amidhan ikut berkomentar, “Pengawasan itu sangat melukai umat Islam, sejak kapan mereka menjadi polisi agama? Jika polisi agama, wajar jika adanya pengawasan terhadap masjid. Sama seperti zaman penjajahan, bicara politik langsung dilaporkan ke polisi."

Ketika masalah insttuksi tersebut ditanyakan kepada Eva K. Sundari, fungsionaris PDI-Perjuangan, dijawab, "Aku dengar begitu. Karena memang serangan kepada Jokowi-JK di masjid-masjid sangat intensif. Serangan ke Jokowi-JK minta ampun, fitnah, bahkan beberapa penceramah melakukan kampanye hitam secara masif."
 
Menurut penjelasan Eva, di beberapa masjid di Cirebon, Jawa Barat, juga beredar tabloid terbitan Obor Rakyat yang menulis soal capres boneka. Tabloid tersebut tidak ada alamatnya.

Eva menambahkan, "Karena itu tampaknya, teman-teman mulai mikir kok masjid jadi tempat menyebarkan fitnah, serangan. Jadi diperlukan pemantauan. Kalau bisa direkam agar supaya masjid tidak dikotori fitnah. Kita kumpulin, seperti tabloid penerbit Obor Rakyat, lalu dilaporkan nanti."

Selanjutnya Eva mengatakan, "Yang punya ide itu Jaktim dulu. Bukan tidak mungkin diikuti seluruh (Indonesia). Karena di Jabar sangat meluas."

Terbukti bahwa JK tidak dapat menempatkan masjid seperti yang dia harapkan, JK tidak mampu melarang agar masjid tidak digunakan sebagai tempat kampanye dan celakanya kampanye yang gencar dilakukan melalui masjid-masjid justru menyerang Jokowi. Artinya karena JK selaku Ketua Uumum DMI tidak mampu menghentikan serangan kepada kubunya sendiri, JK dapat dikatakan membiarkan fitnah itu disebarluaskan, bahkan dapat dikatakan JK menggunting pita di dalam lipatan.

Menyadari bahwa posisinya sebagai Ketua Umum DMI malah merugikan, seharusnya JK segera melapaskan jabatan Ketuan Umum DMI dan jika JK tidak mau mengambil inisiatif melepaskan jabatan Ketua Umum DMI sudah seharusnya PDI-Perjuangan secara resmi meminta JK melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum DMI.

Kita sungguh berharap JK berusaha dengan sungguh-sungguh memenangkan Jokowi agar menjadi presiden dan kita tidak berharap kehadiran JK sebagai pasangan Jokowi malah menjadi unsur yang menggembosi dari dalam dan kepada pendukung Jokowi, apa pun yang dilakukan oleh JK diharap tetap memilih Jokowi karena Jokowi yang akan menjadi presiden.

Merdeka !!!!!.

***


Pilihlah Jokowi – JK (11)

Tanggal 10 Oktober 2014, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan konstruksi sarana transportasi massal (MRT) di Dukuh Atas, Jalan Tanjung Karang, Jakarta Pusat setelah ada kepastian bahwa pembangunan itu tidak merugikan bangsa dan negara.

Proyek itu sebenarnya sudah digagas lebih dari 20 tahun yang lalu. Berdasarkan Jakarta Mass Transit System Study yang diselenggarakan pada tahun 1989-1992, diusulkan pembangunan MRT di Jakartan. Persiapan dilakukan oleh Departemen Perhubungan, dengan konsep Build Operate and Transfer (BOT) yang akan didanai melalui pinjaman dari pemerintah Jepang dan pembangunannya akan dilaksanakan oleh kontraktor Jepang. Setelah menduduki kursi presiden, Megawati melihat bahwa proyek itu akan membebankan keuangan negara dalam jangka panjang dan akan merugikan pengembangan kemampuan enjinering bangsa Indonesia. Lalu dengan berani Megawati meminta proyek itu ditinjau ulang yang artinya untuk sementara dihentikan sampai ada fomulasi lain yang menguntungkan bangsa dan negara.

Penghentian proyek itu tentu saja mengecewakan Departeman Perhubungan karena berarti peroyek besar yang sudah lama mereka siapkan gagal dilaksanakan. Di samping itu penghentian proyek itu juga disesali oleh banyak kalangan profesional yang mengatakan bahwa Jakarta perlu memiliki trasnportasi massal. Sebagai gantinya, tanpa menyertakan Pajabat Departeeman Perhubungan, Megawati mengadakan lawatan ke luar negeri mengajak Gubernur DKI Jakarta yang waktu itu dijabat Sutiyoso, mencari bentuk transportasi massal yang lebih cocok untuk Jakarta dan sesuai dengan kemampuan keuangan negara lalu ada alternatif, yaitu Bus Way dan Monorel.

Sepulang dari lawatan, Gubernur Jakarta langsung bergerak menyiapkan Bus Way Koridor 1 antara Jakarta Kota – Blok M, tanpa konsultasi dengan Depareman Perhubungan. Menjelang peresmian, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Iskandar Abu Bakar menyatakan pembanguna Bus Way tanpa koordinasi dengan Departeman Pehubungan, bahkan Menteri Perhubungan Agum Gumelar meminta peresmian Bus Way diundur. Tetapi Sutiyoso yang mendapat dukugan dari Megawati tidak menghiraukan permintaan Menteri Perhubungan dan tanpa kehadiran Menteri Perhubungan, peresmian Korider 1 tetap dijalankan pada tanggal 15 Januari 2004. Megawati tidak hadir pada persemian tersebut tetapi Taufiq Kiemas mengikuti jalannya peresmian hingga selesai.

Karena Monorel menyangkut investasi yang besar, pembangunannya tidak dapat dimulai pada masa pemerintahan Megawati dan setelah SBY menjadi presiden, proyek itu ditangani oleh JK. Pada bulan Juli 2005 ada kesepakatan bahwa pembangunan Monorel akan dikerjakan oleh sebuah sebuah konsorsium bernama PT Jakarta Monorail (JM) dengan pemegang saham antara lain PT Bukaka Teknik Utama (Milik JK) dan PT INKA, sebuah perseroan pemerintah. Tahun 2006 PT Adhi Karya, sebuah perseroan pemerintah memulai pembangunan tiang monorel di jalan Rasuna Sahid tetapi dihentikan pada tahun 2007 karena tidak ada kejelasan dasar kerjasamanya dengan pemerintah DKI Jakarta.

Hingga JK turun dari kursi Wakil Presiden, pembangunan monorel tetap berhenti. Fauzi Bowo dalam debat pemilihan Gubernur menjelaskan bahwa mangkraknya proyek Monorel bukan kesalahan Pemprov DKI melainkan kesalahan investor dari pihak swasta. Foke mengatakan, "Subsidi yang diharapkan dari proyek ini terlalu besar, ini harus kita kurangi dan tidak boleh kita berikan begitu saja. Mana boleh subsidi diberikan kepada swasta, ini tidak adil dan tak berpihak pada rakyat."

Setelah Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, pembangunan monorel kembali dibahas dengan PT JM dan tidak lama kemudian JK menjelaskan kepada Wartawan sehingga ditulis berita “Hadji Kalla Group memastikan akan mengembangkan proyek monorel di Indonesia. Pemilik Hadji Kalla, Jusuf Kalla (JK) mengatakan akan menggarap monorel di Kota Jakarta, Makassar Sulawesi Selatan dan Bandung Jawa Barat.”

Sebelum MOU kerjasama pembangunan kembali monorel ditandatangani oleh Jokowi, persoalan mencuat ke permukaan, PT Adhi Karya tidak mau lagi ikut dalam konsorsium PT JM dan bersedia menjual sahamnya di PT JM serta meminta penggantian atas biaya pembuatan tiang yang sudah dikeluarkan. Sejak saat itu JK tidak bersuara lagi tentang Monorel dan belakangan ada berita bahwa Edward Suryajaya yang akan mendanai proyek itu.

Adhi Karya menuntut pembayaran 190 Milyar tetapi PT JM hanya mau membayar sebesar Rp. 130 Milyar. Mengenai posisinya, PT Adhi Karya mengatakan keterlibatannya dalam pembangun tiang moonorel karena ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pembangunan monorel di Jakarta. Atas keterangan tersebut, Sekretaris Kabinet Dipo Alam pada tanggal18 Maret 2014, menjelaskan bahwa PP itu tidak pernah ada bahkan draf-nya pun tidak pernah ada.dan setelah ditanyakan ke Kementerian Perhubungan juga tidak pernah ada rencana mengeluarkan PP seperti itu.

Menjelang cuti mengikuti pemilihan presiden, kerjasama pembangunan monorel belum juga ditandatangai  oleh Jokowi dan Wagub DKI Jakarta sudah mengatakan, tidak akan menandatangai kerjasama itu selama Jokowi cuti. Tanggal16 Mei Jokowi memberi penjelasan kepada wartawan, "Saya harus hati-hati mengambil keputusan mengenai kelanjutan pembangunan monorel ini. Saya tidak mau nanti muncul masalah setelah perjanjian kerja sama ditandandatangani oleh kedua belah pihak."

Walapun persoalan monorel belum beres di tingkat Pemprov DKI, tetapi Direktur Lalu Lintas dan Angkatan Kereta Api Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hanggoro Budi Wiryawan menjelaskan bahwa pemerintah pusat mendukung pembangunan monorel dan mereka sudah bertemu dengan pihak PT JM.

Tentang kaitan JK dengan proyek itu, Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada tanggal 23 Mei mengatakan "Pak JK sudah terlibat dalam menolong PT JM (Jakarta Monorail). Sudah ada dukungan jaminan dari Menteri Keuangan waktu itu Sri Mulyani. Istilahnya dipaksa beri jaminan. Tapi nyatanya mangkrak, dibatalkan. Jadi kalau Pak JK jadi wapres lagi, biar (proyek monorel) pakai APBN sajalah."

Dari kisruh pembangunan monorel, kita dapat menyimpulkan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang tegas dan penuh perhitungan, tidak mau sembarangan mengambil keputusan yang ahirnya merugikan pemerintah bahkan rakyat dan kita yakin Jokowi akan membenahi Kementerian Perhubungan agar tidak lagi bekerja berdasarkan kepentingan proyek (Project Oriented) tetapi dapat menyusun konsep perhubungan yang efektif dan efisien yang dituangkan dalam bentuk peraturan serta panduan sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan transportasi. Jika Kementerian Perhubungan dapat dibenahi tentu masalah seperti monorel tidak perlu lagi ikut ditangai oleh presiden.

Bagi calon pemilih Jokowi, masalah JK tidak perlu dirisaukan karena yang akan menjadi presiden dan mengendalikan jalannya pemerintahan adalah Jokowi. Dari pengalaman menangani monorel di Jakarta, Jokowi pasti sudah tahu apa yang harus dikerjakan agar pemerintah dapat memberi pelayanan yang baik kepada rakyat.

Jadi pilihlah Jokowi pada pemilihan presden tanggal 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!


***


Pilihlah Jokowi – JK (10)

Setelah memenangkan pemilihan presiden dan berhasil menyusun kabinet dengan format yang efektif dan efisien, Jokowi dapat menerapkan sistem pemerintahan presidensiil tanpa banyak kesulitan. Karena semua tanggung jawab pemerintahan ada di tangan  presiden, logikanya semua kegiatan menteri juga harus berada di bawah koordinasi presiden sehingga presiden tidak perlu berbagi tanggungjawab dengan wakil presiden dan bagaimana menata hubungan administrasi antara presiden dengan wakil presiden, dapat dipelajari dari pemerintahan sebelumnya.

Dari mulai menjabat sebagai Wakil Presiden, Megawati sudah sadar, tidak mungkin dapat sejalan dengan Gus Dur. Lalu Megawati meminta Sekretaris Wakil Presiden, Bambang Kesowo, merancang sekretariat wakil presiden yang cukup besar agar wakil presiden dapat ikut berperan besar dalam mengendalikan jalannya pemerintahan. Bambang Kesowo memaparkan format sekretariat wakil presiden di hadapan Megawati untuk disetujuai dan kemudian tanpa kesulitan juga disetujui oleh Gus Dur.

Setelah Gus Dur dilengserkan dan Megawati menjadi presiden, Bambang Kesuwo diangkat menjadi Menteri Sekretariat Negara, Megawati memerintahkan agar sekretariat wakil presiden diperkecil, sampai sebatas yang perlu untuk jabatan wakil presiden yang bersifat sebagai ban serep. Tentu saja Hamzah Haz protes, meminta agar sekretariat wakil presiden tetap dipertahankan seperti pada jaman Megawati menududuki kursi wakil presiden, tetapi karena yang berkuasa adalah presiden, protes Hamzah Haz tidak dihiraukan.

Setelah memenangkan pemilihan presiden, SBY menyadari sulitnya menghadapi JK sebagai wakil presiden, karena JK bukan hanya selalu mau ikut menentukan jalannya pemerintahan tetapi juga sudah mempunyai serombongan orang-orang yang sudah dientukan untuk menuduki posisi-posisi tertentu yang tanpa banyak tanya harus disetujui oleh SBY.

SBY sadar bahwa cara mengatur sekretariat agar dapat mengendalikan wakil presiden, bukanlah cara yang efektif untuk mengendalikan JK dan tidak lama kemudian SBY membangun kantor wakil presiden di dalam komleks istana, pada sisi jalan Veteran 3. Rencananya setelah kantor itu dapat digunakan, JK akan dipaksa pindah ke kompleks istana sehingga SBY dapat mengamati siapa saja yang keluar dari dan masuk ke kantor wakil presiden.

Ternyata pembangun kantor wakil presiden di kompleks istana tidak mudah, karena harus mempertimbangkan faktor keamanan. Atas saran para ahli di bidang pengamanan, dinding yang berada di sisi jalan Veteran 3 harus diberi pelapis baja tahan peluru. Akibatnya pengerjaan kantor tersebut memerlukan waktu yang lama dan baru dapat diselesaikan pada tahun terahir masa jabatan SBY sebagai persiden. Lalu kepindahan JK agar bekerja di kantor yang baru terus ditunda sampai masa jabatannya berahir.

Pada masa jabatan kepresidenan yang kedua, SBY tidak menempatkan Boediono di kantor wakil presiden yang baru yang sudah siap digunakan yang terletak di dalam kopleks istana, malainkan tetap di kantor wakil presiden yang lama di Jl. Medan Merdeka Selatan dan ternyata presiden tidak pernah menemui kesulitan menghadapi wakil presiden. Boediono menjalankan tugasnya sebagai wakil presiden dengan baik, yaitu membantu tugas presiden, tidak menyodor-nyodorkan apa yang harus diputuskan oleh presiden dan tidak membawa pasukan yang harus disetujui oleh presiden dan sudah hampir dapati dipastikan, hingga ahir masa jabatannya, Boediono akan tetap berkantor di kantor wakil presiden yang lama.

Setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, tidak perlu JK ditempatkan di kantor wakil presiden yang baru yang sudah lebih dari lima tahun tidak digunakan melainkan dapat dibiarkan berkantor di kantor wakil presiden yang sekarang. Tentang kesekretariatan wakil presiden, Jokowi juga tidak perlu mencari bentuk yang baru, cukup mengikuti bentuk sekeretariat wakil presiden yang pernah digunakan ketika Megawati menjadi presiden.

Melihat kebelakang kita harus memaklumi bahwa bangsa Indonesia ternyata masih belajar benergara, tetapi ke depan roda pemerintahan sudah harus mulai dijalankan secara profesional dan konstitusional. Jokowi harus memulai membangun tradisi menempatkan wakil presiden sesuai dengan konstitusi yaitu hanya sebagai ban serep. Wakil Presiden tidak boleh diberi tugas pemerintahan apa pun selain mengikuti jalannya pemerintahan agar setiap saat diperlukan dapat menjalankan tugas presiden. Artinya Wakil Presiden tidak berhak memanggil menteri atau memimpin rapat bersama menteri dan rapat kabinet harus dipimpin langsung oleh presiden yang tentu saja juga dihadiri oleh wakil presiden.

Menurut ketentuan yang ada, jika presiden sedang tidak berada di ibu kota maka tugas presiden dilaksanakan oleh wakil presiden. Tetapi di jaman kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi sekarang ini, ketentuan tersebut tidak perlu menyebabkan presiden harus berbagi tanggung jawab dengan wakil presiden. Selama presiden tidak ada di ibu kota bahkan ketika melakukan lawatan ke luar negari, tidak perlu diadakan sidang kabinet dan komunikasi antara presiden dengan para menteri tidak perlu terputus.

Dari dua calon presiden yang ada, karena Jokowi tidak menjanjikan bagi-bagi kekuasaan dalam bentuk apapun kepada JK, hanya Jokowi yang dapat menempatkan wakil presiden agar dapat menjalankan tugasnya sesuai konstitusi yang akan menjadi tradisi yang baik bagi kamantapan sisitem pemerintahan Indonesia. Maka tidak perlu ada keraguan sekecil apa pun di dalam diri Anda untuk memilih Jokowi pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

***



Pilihlah Jokowi – JK (9)

Perhatikan berita berikut ini, “Dalam amar putusannya terhadap Rudi pada 29 April lalu, majelis hakim menyebutkan, Rudi pernah menyerahkan 200.000 dollar AS kepada Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Uang itu merupakan bagian dari suap yang diberikan oleh Komisaris Kernel Oil Pte Ltd Simon Gunawan Tanjaya kepada Rudi.”

Kemudian, pada hari Rabu, 14 Mei 2014 KPK menetapkan Sutan Bhatoegena menjadi tersangka. Penetapan KPK menjadi sebuah ironi, karena Sutan Bhatoegena adalah anggota DPR dari Partai Demkorat, Rudi bekerja di bawah pimpinan Jero Wacik, menteri yang juga dari Partai Demokrat. Korupsi tersebut menyangkut APBN dari pemerintahan SBY yang juga pendiri Partai Demkorat. Artinya kekuatan Partai Demokrat di DPR tidak dimanfaatkan untuk mengamankan jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh orang Demokrat tetapi malah ikut merusak.

Sutan Bhatoegena kemungkinan akan masuk penjara, tetapi yang kemudian harus menjadi pertanyaan, apakah kasus serupa akan terulang kembali? Jawabnya, sangat jelas, pasti akan terulang kembali, selama hubungan kerja antara DPR dan pemerintah tidak diperbaiki.

Harus disadari bahwa, kekuasaan DPR terhadap pemerintah sangat besar, bukan hanya ikut menentukan APBN, tetapi juga mempunyai hak mengawasi jalannya pemerintahan, bahkan punya kekuasaan yang memungkinan memberhentikan presiden.

Dalam menjalankan kekuasaannya, DPR mempunyai hak memanggil pejabat pemerintah, bukan hanya untuk membahas anggaran, tetapi juga hampir dalam setiap masalah yang dianggap perlu diklarifikasi oleh DPR melalui mekanisme Dengar Pendapat. Di samping itu ada lagi kewenangan DPR yang berpeluang korupsi yaitu menyelenggarakan “fit and proper test” untuk jabatan tertentu.

Menggelar dengar pendapat, bukan hanya menjadi kegemaran anggota DPR tetapi juga menjadi kepentingan partai politik. Melalui dengar pendapat yang disiarkan secara luas, Partai Politik berusaha membangun citra dengan harapan pada pemilihan umum berikutnya mendulang banyak suara. Di dalam dengan pendapat, pajabat yang diminta klarifikasinya bagai ditempatkan di kursi pesakitan dan hampir tidak ada anggota DPR yang mau secara terbuka membelanya, bahkan partai politik yang dikuasai presiden, paling jauh hanya diam.

Jika Jokowi setelah menjadi presiden dibiarkan seorang diri menghadapi DPR dengan cara kerja seperti yang sekarang, sudah dapat dipastikan akan mengalami nasib yang sama dan Jokowi tidak mungkin melakukan pembenahan atas cara kerja DPR. Tugas pembenahan cara kerja DPR harus dilakukan oleh PDI-Perjuangan dengan membentuk Fraksi Pendukung Pemerintah yang menguasi 50 % + 1 kursi DPR sehingga menjadi jelas, anggota fraksi DPR pendukung pemerintah tidak boleh dan tidak mungkin melakukan tindakan yang merugikan pemerintah dan di dalam setiap rapat dengar pandapat di DPR, Fraksi Pendukung Pemerintah harus terang-terangan membela kepentingan pemerintah dengan berbagai argumentasi.

Sikap membela pemerintah di DPR, jangan dianggap sebagai kerugian pencitraan karena sudah terbukti bahwa pencitraan di DPR tidak efektif dalam mendulang perolehan suara pada pemilu. PKS yang di dalam pemberitaan nasional seharusnya sudah tidak mungkin mendapat suara lagi ternyata masih dapat merebut ...kursi DPR sedangkan PDI-Perjuangan yang setia selama 10 tahun bersikap oposisi, ternyata hanya mandapat kurang dari 20 % suara pemilih.

Dengan persaingan yang semakin ketat di dalam pemilu, peluang mendulang suara ada di Daerah Pemilihan (Dapil) dengan memunculkan calon yang prestasinya dikenal oleh pemilihnya. Dengan pengertian ini, Dengar  Pendapat, lebih baik diarahkan untuk mengangkat isu lokal, yaitu persoalan yang ada di Dapil yang pemecahannya memerlukan kebijakan nasional dan diangkat oleh anggota DPR dari dapil yang bersangkutan agar diketahui apa yang dikerjakannya oleh pemilihnya. Masalah pelecehan seksual pada anak, misalnya dapat digali penyebabnya dengan meminta keterangan dari pejabat atau orang-orang lokal.

Dengan mengarahkan sasaran Dengar Pendapat pada isu-isu lokal yang memerlukan penanganan nasional, kegiatan mengundang pejabat setingkat menteri untuk menghadiri Dengar Pendapat dapat dikurangi dan dampaknya akan besar pada beban kerja menteri. Selama itu sudah menjadi rahasia umum, banyak menteri mengeluh, waktunya habis untuk melayani DPR sehingga pemerintah terpaksa menambah jabatan Wakil Menteri dan keluhan para menteri bukan hanya karena waktunya habis tetapi juga tidak sedikit pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota DPR dapat dikatakan tidak bermutu bahkan memalukan.

Sejalan dengan upaya menerapkan sistem pemerintahan presidensiil, di mana presiden bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan, yang harus menghadapi DPR juga harus diuban, bukan lagi menteri tetapi presiden langsung di dalam dengar pedapat atau perdebatan yang terbuka. Karena dengar pendapat dengan presiden tidak mungkin dilakukan sembarang waktu, harus djadwalkan secara berkala, misalnya setiap 3 bulan dan presiden akan datang didampingi oleh beberapa menteri yang dibutuhkan.

Selama ini ada ketakutan, jika presiden menghadapi DPR secara langsung di dalam sebuah perdebatan terbuka, presiden akan dipermalukan. Hal ini tidak akan terjadi jika ada Fraksi Pendukung Pemeritah di DPR yang menguasai minimal 50 % +1 kursi DPR dan di dalam perdebatan itu Fraksi Pendukung Pemerintah harus berjuang membela kepentingan pemerintah. Sebagai bahan perdebatan dapat dikumpulkan dari isu-isu yang diangkat di dalam dengar pendapat di DPR selama 3 bulan yang berjalan.

Dengan menata ulang hubungan pemerintah dengan DPR, pekerjaan yang ditangani oleh DPR dapat dikembalikan kepada tugas utamanya yaitu membuat UU yang selama ini sering dinomorduakan sehingga rencana penyelesaian sejumlah RUU hampir selalu tidak mencapai target.

Penataan ulang hubungan antara pemerintah dengan DPR yang memungkinkan pemerintah dapat bekerja lebih efektif melayani kepentingan rakyat, hanya mungkin dilakukan jika presiden, wakil presiden dan para menteri tidak menjadi pengurus partai dan dari calon presiden yang ada, hanya Jokowi yang mempunyai peluang itu, karena maju menjadi calon presiden didukung oleh koalisi partai yang bersifat non-transaksional.

Jika Anda menghendaki terjadi perbaikan yang mendasar pada pemerintahan mendatang, tak ada jalan lain bagi Anda selain memilih Jokowi pada pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

***



Pilihlah Jokowi – JK (8)

Tugas pertama yang harus diselesaikan oleh Jokowi, setelah terpilih menjadi presiden dan sebelum memulai memimpin jalannya roda pemerintahan, adalah menyusun kabinet yang harus didahului dengan menetapkan struktur kabinet yang tidak harus mengikuti pola yang ada sekarang dan setruktur kabinet itu harus bersifat presidensiil. Agar struktur kabinet menjadi lebih efektif dan efisien, Jokowi harus berani melakukan perubahan yang mendasar, karena susunan kabinet yang ada sekarang adalah warisan tambal sulam sejak kemerdekaan yang isinya sebagian masih berupa warisan Belanda.

Ketika Bung Karno mendirikan PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sistem pemerintahan yang dicita-citakannya sudah jelas yaitu seperti yang berlaku di Amerika Serikat yang dikenal dengan sistem presidensiil. Alasannya, dari masih muda Bung Karno sudah melihat, jika keberagaman suku dan agama diberi peluang direpsentasikan dalam bentuk kekuatan politik, akan menyebabkan Indonesia hancur lebur terkoyak-koyak dalam perang saudara. Tetapi Hatta yang sekolah di Balanda merasa tidak ada yang salah, keberagama agama dan suku direpsentasikan dalam bentuk kekuatan politik, contohnya di Belanda, sistem parlementer dapat diterapkan. Hatta lupa bahwa Belanda dan negara-negara Eropa, menemukan bentuknya dengan pembagian wilayah seperti sekarang setelah melalui perang, perang dan perang yang benyak mengorbankan nyawa. Hal seperti itu yang dari awal tidak diinginkan oleh Bung Karno dan konsekuensinya sistem parlementer tidak boleh diterapkan di Indonesia.

Kabinet pertama yang disusun oleh Bung Karno setelah proklamasi kemerdekaan adalah kabinet presidensiil, terlihat dari ada jabatan Wakil Presiden dan tidak ada jabatan Perdana Menteri. Kabinet presidensiil itu terpaksa dibubarkan setelah Hatta melakukan kudeta dengan jalan mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X yang mengubah sistem presidensiil berdasarkan UUD 45 menjadi sistem parlementer yang tidak ada dasar konstitusinya. Demi persatuan, Bung Karno mengalah tetapi upaya selanjutnya untuk mengembalikan ke sistem presidensiil sulitnya luar biasa. Setelah Hatta mengundurkan diri dari Jabatan Wakil Presiden, Bung Karno menempuh jalan kompromi, mengangkat Juanda sebagai Menteri Utama, menghindari jabatan Perdana Menteri, tetapi tidak sepenuhnya berhasil karena sistem kepartaian sudah terlanjur menjadi banyak dan sulit dibuat menjadi lebih sederhana.

Pak Harto pernah berusaha melakukan penyederhanaan partai politik, dengan memaksa di samping Golkar hanya boleh ada dua partai politik, yang naisonalis dan agama non-Islam dilebur ke dalam PDI dan yang Islam dilebur ke dalam PPP. Sebenarnya diharapkan PPP meninggalkan  keislamannya agar menjadi partai non-agama tetapi ketika PPP menyodorkan tanda gambar Kabah, Pak Harto kesulitan untuk menolak dan terpaksa membiarkannya.

Orang mengetahui bahwa Pak Harto menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan tidak dapat dipungkiri bahwa Pak Harto adalah seorang diktator tetapi diktator yang baik karena yang dilakukannya demi kemajuan bangsa dan negara. Pak Harto tidak kesulitan menggusur menteri atau pejabat pemerintah yang tidak menjalankan kebijakannya. Tetapi ketika Menteri Agama mengeluarkan keputusan yang isinya melarang Muslim memberikan ucapan selamat natal, Pak Harto walaupun di dalam hatinya marah, tetapi tidak bisa memecat menteri itu lalu membiarkan masalahnya berlalu sambil berusaha mengurangi dampak negatifnya.

Melihat jalannya sejarah, tidak boleh ditawar lagi, Jokowi harus memulai membangun tradisi pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien. Prinsip utama yang harus dipegang, semua tanggungjawab pemerintahan ada di tangan presiden. Jokowi harus membagi habis semua tugas pemerintahan kepada para menteri sehingga pertanggung-jawaban menjadi jelas. Menteri yang bertindak di luar kewenangannya harus ditindak dengan tegas sehingga Jokowi dapat lepas dari tanggungjawab. Jokowi tidak boleh memberi tugas pemerintahan sekecil apa pun kepada Wakil Presien karena jika Wakil Pressiden mengambil langkah yang salah, di luar kewenangan Jokowi untuk memecat Wakil Presiden dan kesalahan itu dampaknya akan fatal bagi kelangsungan pemerintahan Jokowi

Pekerjaan yang harus dijalankan oleh menteri adalah pekerjaan yang bersifat politis atau kebijakan dan bukan sesuatu yang bersifat pelaksanaan. Tugas Panglima TNI adalah melaksanakan tugas ketentaraan dan bukan menjalankan politik ketentaraan karena politik ketentaraan harus menjadi tanggung jawab Menteri Pertahanan. Tugas Kapolri adalah menjalankan tugas kepolisiann bukan memainkan politik keamanan yang menjadi wewenang Mendagri. Karena itu sangat tepat menempatkan Pangima TNI di bawah Menhankan dan menempatkan Kapolri di bawah Mendagri.

Masih ada pengamat yang mengatakan jabatan Panglima TNI dan Kapolri sebaiknya tetap langsung di bawah presiden, saran seperti ini pasti didasari asumsi, belum tentu politik yang dijalankan oleh Menhankam dan atau Mendagri sejalan dengan politik presiden. Asumsi ini harus dibuang dan tidak berlaku di dalam sistem presidensiil, Menhankam dan Mendagri harus menjalankan poltik presiden, jika tidak sangguh, solusinya harus diganti tidak boleh ada alternatif lain.

Membagi habis tugas pemerintahan, harus diusahakan tidak terjadi tumpang tindih sehingga memudahkan koordinasi. Jokowi harus berani melakukan perombakan total dari susunan lembaga yang ada sekarang. Salah satu contoh adalah masalah perhubungan, tidak boleh lagi kebijakan jalan raya tidak berada  di tangan Menteri Perhubungan. Direktorat Jenderal Bina Marga yang bersifat pelasanaan harus diubah menjadi Badan Pengelola Jalan. Direktorat Lalu Lintas Polri yang sudah terbukti menjadi lahan korupsi harus dialihkan, agar berada di bawah kewenangan Badan Pengelola Jalan sehingga semua masalah yang berkaitan dengan pengelolaan jalan berada di bawas satu kendali. Pembiayaan Badan Pengelola Jalan harus diusahakan dipenuhi dari penerimaan pajak jalan dan pungutan lain yang berkaitan dengan jalan. Urusan STNK, BPKB, dan SIM harus menjadi bagian dari tugas Badan Pengelola Jalan dan untuk membentuk Badan Pengelola Jalan tidak perlu susah-susah menyelenggarakan seminar yang menghamburkan uang karena ada jalan yang mudah yaitu meniru saja JPJ ada di Malaysia.

Karena Jokowi tidak punya kesepakatan bagi-bagi kekuasaan baik dengan partai  poltik pendukung maupun dengan calon wakil presiden, hanya Jokowi yang dapat menerapkan sisttem pemerintahan presidensiil seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno.

Jika Anda mengharapkan pemerintahan mendatang dapat bekerja lebih efektif dan efisien demi kepentingan rakyat, tentunya termasuk kepantingan Anda, tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk tidak memilih Jokowi dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

***


Pilihlah Jokowi – JK (7)

Berbeda dengan pada masa jabatan 2004-2009, di mana SBY harus menelan pengalaman pahit, berhadapan dengan Wakil Presiden yang sikapnya sering tidak sejalan dengan kebijakan presiden, pada masa jabatan 2009-2014, SBY berhasil mengarahkan Wakil Presiden sehingga dapat menjadi pembantu presiden, tetapi masalah yang dihadapi SBY dalam mengendalikan jalannya pemerintahan ternyata tidak berkurang peliknya.

Awalnya, dengan pertimbangan untuk mendapat dukungan yang kuat dari DPR, SBY menggalang dukungan banyak partai lain sehingga menguasai mayoritas kursi DPR : Demokrat 145, Golkar 103, PKS 57, PAN 45, PKB 27, PPP 37. Jumlah keseluruhan mencapai 414 kursi atau lebih dari 73% dari jumlah seluruh kursi DPR. Agar ada kerjasama yang baik, koalisi partai-partai tersebut diikat dalam sebuah pernjanjian yang dilengkapi dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab). Di lain pihak kekuatan politik yang mengambil sikap oposisi : Hanura 17, Gerindra 25, dan PDI-Perjuangan 93. Jumlah keseluruhan hanya 135 kursi atau sekitar 24 % dari jumlah seluruh kursi DPR. Berbeda dengan  partai koalisi, partai oposisi berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada ikatan kerjasama di antara mereka.

Jika Setgab diibaratkan sebuah pagar yang dibangun oleh SBY untuk mengamankan jalannya pemerintahan, yang kemudian terjadi adalah pagar makan tanaman. Dalam perjalanannya, partai anggota koalisi, bukan hanya dengan mudah mengganggu jalannya pemerintahan, seperti yang terjadi pada waktu hendak menaikan harga BBM, tetapi juga mengambil langkah yang dapat berujung pada jatuhnya pemerintah, yaitu membentuk Pansus Century yang dimotori bukan hanya oleh partai oposisi tetapi juga oleh partai anggota koalisi. Di dalam kasus Bank Century yang menjadi sasaran sangat jelas yaitu Wapres Boedino. Walaupun dari awal para pakar sudah mengatakan bahwa kebijakan yang diambil oleh Boediono selaku Gubernur BI tidak dapat dikriminalkan tetapi sejumlah anggota DPR tanpa malu berteriak Boediono harus bertanggung jawab. Lalu digelar sidang pengadilan dan tanpa malu orang yang dapat dikelompokkan sebagai tokoh politik malah berani berbohong hanya untuk menjatuhkan Boediono.

Selama periode pemerintahan 2009-2014, SBY bukan hanya dibuat pusing oleh partai anggota koalisi tetapi juga oleh partai yang didirikannya sendiri, yaitu Partai Demokrat. Maksud SBY menggelar Kongres Partai Demokrat pada tahun 2010 tentu baik, yaitu memilih ketua umum secara demokratis agar Partai Demokrtat berkembang menjadi partai yang profesional. Tetapi setelah kekuasaan atas partai dilepas oleh SBY, malah menyulitkan SBY sendiri, sehingga orang dapat mengatakan “kepala dilepas masih untung buntutnya dipegang Ibas” sehingga ular tidak lari memakan tuannya.

Melihat kesulitan yang harus dihadapi SBY selama 10 tahun terahir, kita harus berani mengatakan bahwa politik di Indonesia sangat BUAS, tidak beretika dan tidak bermoral. Di Amerika Serikat sekecil apa pun seorang politisi berbohong lalu terungkap ke ruang publik, hampir dapat dipastikan karier politiknya berahir. Di Indonesia, politisi berbohong masih biasa, bahka seorang Bupati yang diturunkan dari jabatannya dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual masih dapat bangkit kembali menjadi anggota DPD.

Sehebat apa pun Jokowi, jika nanti dilepas seorang diri menghadapi buasnya belantika politik Indonesia, pasti akan menghadapi banyak kesulitan. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Jokowi harus waspada, bukan hanya terhadap lawan politiknya tetapi terlebih terhadap orang dekat yang berada di sekitarnya. Jokowi harus mengarahkan semua pembantunya, termasuk Wakil Presiden untuk bekerja secara profesional sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta sesuai dengan amanat konstitusi dan masyarakat terutama pers, harus dapat membantu Jokowi, dengan menyoroti serta mengangkat segala penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar Jokowi.

Dalam menghadapi DPR, Jokowi sebaiknya tidak  berhadapan langsung, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada PDI-Perjuangan yang harus menggalang kekuatan politik untuk mendukung jalannya pemerintahan. Koalisi pendukung pemerinah di DPR yang nanti harus dibentuk, tidak perlu menjadi kalanjutan dari koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden yang sekarang sedang bekerja karena tugas koalisi partai pendukung pemerintah yang harus dibentuk sangat berbeda dan harus dibangun di atas dasar yang berbeda.

Setelah pemilihan presiden, PDI-Perjuangan harus menyatakan bahwa tugas koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden selesai. Lalu mulai menggalang kerjasama parlemen, menyusun kekuatan politik mendukung jalannya pemerintah. Kekuatan politik tersebut tidak perlu terlalu besar, cukup menguasai 281 kursi DPR dan harus dibangun di atas dasar program kerja pemerintah untuk 5 tahun mendatang, yaitu semacam GBHN yang harus disepakati bersama. Tentu tidak dapat dihindari, ketika mengangkat para menteri, Jokowi harus memperhatikan kekuatan politik di DPR yang menjadi pendukung pemerintahnya tetapi pengangkatan itu harus diletakkan di luar kesepakatan kerjasama parlemen dan harus tetap dilakukan secara profesional.

Agar suara partai koalisi pendukung pemerintah tidak saling berbenturan, PDI-Perjuangan harus berusaba membentuk Fraksi Partai Pemerintah di DPR di mana semua anggota DPR dari partai koalisi bergabung di dalam satu fraksi. Pola kerjasama ini dapat meniru apa yang dilakukan oleh partai-partai politik di Malaysia yang tergabung dalam Barisan Nasional.

Koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden yang ada sakarang memiliki kekuatan 109+35+47+16 = 207 kursi DPR. Setelah melihat posisi Jokowi di dalam peta pesaingnya, ada kemungkinan Partai Demokrat akan ikut mendukung Jokowi sehingga kekuatan akan bertambah sebanyak 61 kursi, menjadi 277. Melihat banyak tokoh Golkar yang sudah mendukung Jokowi, ada kemungkinan setelah pemilihan presiden, Golkar akan dapat diajak berkoalisi sehingga ada lagi tambahan 91 kursi sehingga keseluruhan akan berjumlah 368 kursi. Dengan potensi 368 kursi, sedangkan yang dibutuhkan hanya 281 kursi, PDI-Perjuangan punya cukup ruang untuk menyodorkan koalisi yang bertika dan bermoral sehingga partai yang komitmennya diragukan dapat tidak diikutsertakan dalam koalisi, selama jumlah yang berkomitmen sudah mencapai minimal 281 kursi.

Tugas yang harus dikerjakan oleh PDI-Perjuangan selama 5 tahun ke depan bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan tulus untuk mengamankan jalannya pemerintahan Jokowi. Bagaimana PDI-Perjuangan dapat menjalankan tugas tersebut banyak tergantung pada sikap ketua umumnya dan agar tidak terjadi perubahan arah, ada baiknya jabatan ketua umum PDI-Perjuangan tetap dipegang oleh Ibu Mega minimal hingga masa jabatan Jokowi berahir.

Bermodalkan koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden yang berbasis nontransaksional, dengan sendirinya hanya PDI-Perjuangan yang dapat mewujudkan koalisi parlemen yang bermoral dan beretika untuk mendukung jalannya pemerintahan selama 5 tahun mendatang dan dengan memilih Jokowi, harus disadari bahwa selain mendapat presiden terbaik, juga mendapat jaminan bahwa PDI-Perjuangan akan mengamankan jalannya pemerintahan agar dapat bekerja semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat.

Jika Anda menginginkan bangsa dan negara ini maju, tak ada alasan lagi bagi Anda untuk tidak memilih Jokowi pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!
 

***



Pilihlah Jokowi – JK (6)

Nanti, setelah memenangkan pemilihan presiden, Jokowi tentu harus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya hingga menjadi presiden dan dengan mengucapkan terima kasih, Jokowi harus dapat melepaskan diri dari perasaan hutang budi, karena dukungan yang telah diberikan adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Demikian juga Jokowi tidak perlu merasa terikat dengan partai politik koalisi pendukunganya karena ikatan dengan partai politik pendukungnya sudah disepakati berisfat nontransaksioanal. Tetapi Jokowi tidak mungkin hanya mengucapkan terima kasih kepada PDI-Perjuangan dan terutama kepada Ibu Mega atas apa yang sudah dilakukan, karena Jokowi masih membutuhkan PDI-Perjuangan dan Ibu Mega untuk mengamankan secara politis jalan pemerintahannya agar tidak menemui banyak hambatan.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di dalam budaya Jawa, Jokowi tentu sangat paham bagaimana memperlakukan orang yang telah sangat berjasa di dalam hidupnya dan orang sudah dapat menduga bagaimana sikap Jokowi terhadap Ibu Mega sehingga ada yang berani berkomentar, “Jokowi akan menjadi presiden boneka, Jokowi boneka Megawati.”

Walaupun istilah “Jokowi boneka Megawati” tidak masuk akal, karena apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh presiden akan menjadi perhatian DPR dan dilihat orang banyak, tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa ada peluang bagi Ibu Mega untuk memanfaatkan Jokowi bagi keuntungan pribadinya dan ini yang harus dilihat, seberapa jauh kemungkinan itu dapat terjadi.

Untuk menilai kualitas hubungan dua insan, tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara melihat apa yang tampak di permukaan. Dua manusia yang tampak saling menjaga dan saling membantu, bisa jadi didasari semangat perbudakan, jika yang lebih berpengaruh memanfaatkan orang yang dipengaruhinya untuk keuntungan pribadinya. Pepatah mengatakan “Dalamnya lautan dapat diukur tetapi dalamnya hati manusia tidak ada yang tahu” sehingga bagaimana hubungan antara Jowoki dengan Ibu Mega sesungguhnya hanya mereka berdua yang mengetahui.

Karena Jokowi ada di pihak yang berhutang budi, tentu warna hubungannya dengan Ibu Mega lebih ditentukan oleh sikap Ibu Mega dan karena kita tidak dapat melihat apa sesungguhnya yang ada di dalam hati Ibu Mega, yang dapat kita lakukan hanyalah menilai siapa sebenarnya Megawati dengan cara memperhatikan jalan hidup yang sudah dilaluinya.

Ibu Mega saat ini adalah seorang janda berusia 67 tahun yang memiliki kekayaan lebih dari 80 milyar yang sebagian berupa aset produktif. Kekayaan sebanyak itu lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya sampai ajal menjemputnya, bahkan masih akan dapat digunakan untuk membiayai hidup anak dan cucunya sampai jangka waktu yang lama. Tetapi walaupun Ibu Mega menguasai aset produktif, beliau bukan seorang pengusaha dan dari tingkah lakunya, dapat dilihat, tidak tampak ada keinginan untuk memperluas usahanya agar menjadi bertambah kaya, sehingga alasan memanfaatkan Jokowi untuk mendapatkan kekayaan tampaknya dapat dikesampingkan.

Ibu Mega mempunyai dua orang anak yang ikut terlibat di dalam kegiatan PDI-Perjuangan, yaitu Prananda dan Puan Maharani. Adalah wajar seorang Megawari mendorong anak-anaknya menduduki jabatan tinggi bahkan tertinggi di negeri ini, mengikuti jejak kakeknya Bung Karno dan sangat wajar jika Jokowi memberikan kursi menteri kepada Puan dan atau Prananda. Tetapi perlu disadari, di alam politik Indonesia yang masih miskin persaingan, memajukan anak sendiri bukan hanya dilakukan oleh Ibu Mega,. SBY juga menempatkan Ibas sebagai Sekjen Partai Demokrat dan harus diakui bahwa motivasi SBY belum tentu semata-mata berdasar nepotisme tetapi karena masih sulit mempercayakan posisi yang sangat strategis kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah, contohnya sangat jelas, Ketua Umum Partai Demokrat yang dialihkan dari orang di lingkaran keluarganya kepada Anas Urbaningrum malah berakibat sangat fatal.

Jika benar Puan Maharani dan atau Prananda menduduki kursi menteri, orang yang sinis akan mengatakan itulah balas jasa Jokowi kepada Ibu Mega. Tetapi tentu tidak terlalu benar karena jasa mereka berdua juga tidak sedikit dalam mendukung Jokowi hingga menduduki kursi presiden. Selanjutnya apakah Puan dan atau Prananda akan berhasil, tergantung sepenuhnya pada kemampuan mereka masing-masing yang akan disorot dengan kritis oleh masyarakat yang tidak mungkin lagi dibela atau didukung oleh ibunya maupun oleh Jokowi.

Pada acara peletakan batu pertama pembangunan kembali Kantor DPP PDI-Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakara, Ibu Mega berbicara tentang kasus kerusuhan 27 Juli 1996 dan mengatakan,  "Harus dilanjutkan dengan pengadilan koneksitas, harus digabungkan antara pengadilan sipil dan militer. Ini harus diusut tuntas." Ini adalah permintaan yang dengan jelas diungkap secara terbuka oleh Ibu Mega. Permintaan yang harus ditindaklanjuti oleh Jokowi setelah menduduki kursi presiden, yaitu mengungkap kasus kerusuhan 27 Juli 1966 hingga menjadi jelas.

Selama ini tidak sedikit orang yang menyesalkan termasuk para kader PDI-Perjuangan, mengapa pada waktu Ibu Mega menjabat sebagai presiden,  tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk mengungkap kasus 27 Juli 1966. Harus diakui bahwa pada waktu itu situasi memang belum kondusif, Sutioso yang menjabat selaku Pangdam Jaya pada waktu terjadi kerusuhan masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, SBY yang menjabat selaku Kasdam pada waktu terjadi kerusuhan masih menduduki kursi Menko Polhukan, dan di seluruh Indonesia masih banyak jabatan Gubernur, Walikota, dan Bupati yang diduduki oleh bekas pejabat militer. Tetapi nanti jika Jokowi menjadi presiden, tidak ada lagi mantan pejabat militer yang menduduki jabatan publik, dari Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati sudah seluruhnya berada di tangan sipil dan semua pejabat militer yang bertugas pada saat terjadi kerusuhan sudah pensiun, sehingga mereka tidak perlu lagi takut kehilangan jabatan atau kehilangan masa depan.

Kerusuhan 27 Julai 1996 hanyalah satu dari banyak kerusuhan dan pelanggaran HAM masa lalu yang harus diuangkap dan jika diurut ke belakang upaya pengungkapan harus sampai pada pembunuhan terhadap lebih dari 500.000 anggota serta simpatisan PKI yang hingga saat ini belum jelas duduk perkaranya. Pengungkapan kerusuhan dan pelanggaran HAM di masa lalu tentu saja bukan hanya menjadi kepentingan Ibu Mega, karena keluarga orang hilang juga berharap anggota keluarga mereka dapat ditemukan kembali dan jikapun sudah meninggal mereka berharap dapat mengetahui di mana jasadnya. Demikian juga keluarga beserta anak cucu bahkan buyut lebih dari 500.000 anggota dan simpatisan PKI yang kehilangan nyawa pada kurun waktu antara tahun 1965-1970 tentu ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.

Ada baiknya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jerman. Setelah pembantaian besar-besaran orang-orang Yahudi berhasil dihentikan dengan didudukinya Jerman di bawah komando Hitler oleh pasukan sekutu, dengan dukungan Mashall Plan bangsa Jerman, berhasil membangun kembali negeri mereka dan dalam waktu yang singkat dapat tampil menjadi kekuatan ekonomi dunia. Tetapi orang Jerman merasa malu, berdiri di hadapan orang asing, takut dicap sebagai bangsa pembunuh. Mencegah hal itu menjadi beban berkepanjangan, mereka membuka semua kesalahan pemerintahan Hitler. Mereka yang bersalah dihadapkan ke meja hijau dan kam-kam konsterasi yang pernah dijadikan tempat penyiksaan dibuka untuk umum sebagai museum lalu sejarah ditulis berdasarkan fakta yang benar. Dengan cara itu bangsa Jerman terbebas dari beban sejarah masa lalu.

Hal yang serupa harus dilakukan oleh bangsa Indonesia dan ini bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan karena kewenangan untuk menyelesaikannya tidak sepernuhnya ada di tangan presiden. Penyelesaian masalah ini harus dituntaskan secara menyeluruh, termasuk mencabut TAP MPRS yang salah, salah satunya TAP MPRS yang memberhentikan Sukarno dari jabatan presiden, bukan hanya karena TAP itu menghina Sukarno tetapi juga TAP itu menyalahi sejarab. Pada waktu TAP itu dikeluarkan, Sukarno sudah tidak menjabat presiden karena sudah mengundurkan diri dan kekuasaan presiden sudah diserahkan kepada Suharto sehingga TAP pemberhentian itu tidak diperlukan.

Walaunpun demikian, inisiatif penyelesaian harus diambil oleh pemerintah dan hanya pemeritahan yang bersih dan kuat yang dapat melakukannya, hanya presiden yang berani dan yang sama sekali tidak terlibat dalam kerusuhan atau pelanggaran HAM apa pun yang terjadi di masa lalu yang dapat melakukannya dan ini juga bukan hanya untuk kepentingan Ibu Mega, tetapi harus menjadi kepentingan PDI-Perjuangan, bahkan kepentingan semua pihak dan semua orang Indoesia yang ingin melihat masa depan tanpa harus malu dengan masa lalu.

Pengungkapan semua kerusuhan dan pelanggaran HAM di masa lalu tentu tidak boleh dilakukan dengan semangat balas dendam tetapi harus dilakukan dengan semangat menegakkan kebenaran serta keadilan. Selanjutnya sejarah harus ditulis dengan benar agar generasi mendatang tidak lagi terbebani oleh masa lalu yang kelam, sehingga dapat menatap masa depan dengan  penuh harapan dan perlu disadari bahwa semua ini hanya mungkin dan hanya dapat dilakukan jika Jokowi yang menduduki kursi presiden untuk periode 5 tahun mendatang.

Jika Anda ingin ikut menikmati kebesaran Indonesia di sisa hidup Anda, tak ada pilihan lain selain memilih Jokowi untuk menjadi presiden pada tanggal 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!
 
***



Pilihlah Jokowi – JK (5)

SBY adalah contoh yang baik, bagaimana pentingnya partai politik sebagai kendaraan untuk meraih jabatan presiden. Sebelum mengikuti pemilihan presiden di tahun 2004, SBY sengaja mendirikan Partai Demokrat. Memang perolehan suara Partai Demokrat waktu itu tidak terlalu besar, tetapi berhasil mengantar SBY menduduki kursi presiden periode jabatan 2004-2009.  Menyadari pentingnya kekuatan partai politik, SBY tetap menguasai Partai Demokrat dan dengan perolehan suara terbesar pada tahun 2009, dengan mudah mengantar SBY kembali menduduki kursi preisden periode jabatan sampai tahun 2014. Tetapi menghadapi pemilihan di tahun 2014, Partai Demokrat berantakan sehingga tidak mampu lagi mengusung calon presiden.

Partai Golkar yang dijaman orde baru selalu mengantar Pak Harto ke kursi presiden dan mempunyai basis organisasi yang mapan serta memiliki banyak kader yang poternsial, sejak reformasi tidak pernah berhasil memenangkan pemilihan presiden, bahkan sekarang tidak mampu lagi mencalonkan baik presiden maupun wakil presiden.

PKB yang pernah mengusung Gus Dur menjadi presiden, dirundung beberapa kali perpecahan dan sekarang tidak mampu lagi mengusung baik calon preiden maupun wakil presiden.

PDI-Perjuangan pernah berhasil mengantar Ibu Mega menduduki kursi presiden dan pada masa jabatannya, Ibu Mega berani memutuskan pemilihan presiden secara langsung. Lalu berpasangan dengan Ketua Umum PB-NU yang katanya mempunyai anggota mencapai jumlah 30 juta orang, maju menjadi calon presiden di tahun 2009, tetapi ternyata gagal.

Masih menjabat sebagai Ketua Umum PDI-Perjuangan, Ibu Mega berkonsentrasi memajukan PDI-Perjuangan dan berusaha mendorng kader sendiri menduduki jabatan publik. Jokowi adalah salah satu kader PDI-Perjuangan yang berhasil dimajukan oleh Ibu Mega menduduki kursi Walikota Solo dan dilantik pada tanggal 28 Juli 2005. Sementara untuk jabatan tingkat Gubernur karena kader internal belum memadai, PDI-Perjuangan mendukung calon Gubernur dari luar, antara lain Gubernur Jawa Tengah dan Bali. Setelah kader internal menjadi siap, jabatan itu direbut oleh kader PDI-Perjuangan dan di Jawa Tengah berhasil tetapi di Bali gagal.

Jokowi lahir pada tanggal 21 Juni 1961 di Solo, menempuh pendidikan hingga lulus SMA di Solo, lalu melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dan berhasil lulus menjadi Sarjana Kehutanan pada tahun 1985. Selanjutnya, Jokowi yang berakar dan berkambang dalam budaya Jawa menjadi pengusaha properti dan furnintur. Ketika mencalonkan diri menjadi Walikota Solo banyak yang meragukan kemampuannya tetapi keraguan itu tak lama kemudian ditepis dengan bukti nyata, banyak hasil kerjanya yang diapresiasi publik sehingga dengan mudah dapat memenangkan kembali jabatan kedua pada tahun 2010.

Bermodalkan prestasinya yang gemiliang, Jokowi diarahkan oleh Ibu Mega untuk merebut kursi Gubernur DKI Jakarta dan berhasil. Jokowi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 dan dalam waktu yang relatif singkat, berkat gaya kemimpinannya yang senang blusukan disertai keberaniannya malakukan beberapa penertiban, antara lain mengembalikan fungsi Waduk Pluit, hasil kerjanya menjadi buah bibir masyarakat dan karena keberhasilannya itu Jokowi lalu diberi tugas oleh PDI-Perjuangan untuk maju menjadi calon presiden pada pemilihan presiden tanggal 9 Juli mendatang..

Jokowi bukan satu-satunya Walikota atau Bupati yang berasal dari PDI-Perjuangan tetapi keberhasilan Jokowi menjalankan tugasnya sangat menonjol dan diakui masyarakat. Demikian juga Jokowi bukan satu-satunya Gubernur dari PDI-Perjuangan tetapi di antara gubernur yang berasal dari PDI-Perjuangan, Jokowi adalah gubernur yang prestasinya jadi pembicaraan masyarakat. Ketika harus memilih siapa dari kader PDI-Perjuangan yang pantas dan berhak dimajukan utnuk menduduki jabatan presiden, PDI-Perjuangan tidak perlu menyelenggarakan konvensi yang bersifat pertunjukan, tetapi cukup mengandalkan bukti prestasi untuk menugaskan Jokowi maju menjadi calon presiden.

Berbeda dengan SBY, Ibu Mega, dan Gus Dur yang berhasil menduduki jabatan presiden bermodalkan kekuasaan atas partai, Jokowi menjadi calon presiden tanpa kekuasaan apa-apa atas PDI-Perjuangan karena yang berkuasa atas PDI-Perjaugan tetap Ibu Mega sehingga jika Jokowi berhasil menduduki kursi presiden, akan menjadi catatan sejarah, sebagai orang pertama, setelah reformasi, yang bukan penguasa partai tetapi berhasil menduduki kursi presiden. Di samping Jokowi, tentu PDI-Perjuangan juga akan dicatat oleh sejarah, sebagai partai yang berhasil medudukan kadernya yang bukan pengurus partai untuk menduduki kursi presiden.

Keberhasilan PDI-Perjuangan mendidik kader sendiri melalui kerja nyata di berbagai jenjang pemerintahan hingga berhasil menduduki jabatan tertinggi di negeri ini akan menujukkan bahwa PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega menjadi partai andalan bangsa dan akan menjadi model bagaimana seharusnya partai bekerja untuk rakyat.

Setelah menduduki kursi presiden, Jokowi tidak perlu menjadi pengurus partai, tetapi cukup mengandalkan dukungan PDI-Perjuangan yang harus terus mengembangkan budaya kerja yang baik, yaitu berperan di dalam parleman agar pemerintahan Jokowi dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Ada baiknya Ibu Mega tetap memegang jabatan Ketua Umum PDI-Perjuangan minimal sampai Jokowi menyelesaikan masa tugas pertamanya sebagai presiden hingga tahun 2019, agar budaya kerja partai yang dapat berbagi tugas dengan presiden dapat dimantapkan .

Tanpa menjadi pengurus partai, Jokowi dapat bersikap tegas dalam mengangkat para menteri yang akan membantunya menjalankan tugas pemerintahan, yaitu tidak boleh merangkap jabatan partai dan dengan tidak boleh merangkap jabatan partai, loyalitas para menteri dapat dituntut hanya untuk negara sehingga ukuran keberhasilannya menjadi jelas.

Dilihat dari tahun 2005 hingga sekarang, Jokowi telah menjadi ujung tombak perubahan yang digerakkan oleh PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega, yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi bangsa dan negara yang hebat dalam waktu yang singkat. Sebagai ujung tombak perubahan, Jokowi dan PDI-Perjuangan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan harus dilihat sebagai satu kekuatan perubahan, yang diharapkan akan memajukan peradaban bangsa yang berdiri di atas akar budaya aslinya dan meluruskan jalannya sejarah agar berpangkal pada fondasi yang sudah diletakkan oleh Bung Karno.

Jika Anda mengharapkan pemerintahan 5 tahun mendatang bekerja untuk rakyat dan dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik, pilihlah Jokowi pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

  
***



Pilihlah Jokowi – JK (4)


Masih pada hari pemilihan anggota legislatif, Jokowi yang mendapat tugas dari partai PDI-Perjuangan untuk menjadi Calon Presiden (Capres) pada pemilu presiden 9 Juli 2014, sudah menjelaskan kepada wartawan, “Akan merangkul banyak partai dengan catatan tidak ada hitung-hitungan kursi menteri dan sebagainya. Usul menteri bisa saja, tapi sekali lagi bukan bagi-bagi kursi."

Pada hari yang sama, pernyataan Jokowi langsung ditertawakan oleh Ketua Dewan Pers Indonesia, Bagir Manan yang mengatakan, "Koalisi tanpa adanya tawar-menawar itu tidak mungkin, karena kalau kita ingin mengajak partainya berarti kita tentu ada `bargaining` partai itu. Oke saya dukung asal dapat menteri-menteri itu atau dukung program-program ini."

Hari ketiga setelah pemungutan suara, dengan bermodalkan hasil Quick Count yang menunjukkan bahwa PDI-Perjuangan menjadi pemenang pemilu legislatif dengan perolehan suara tidak mencapai 20 %, Jokowi sudah bergerak menjajaki koalisi.

Partai yang pertama didatangi adalah Nasdem di bawah pimpinan Surya Paloh. Sebelum Jokowi datang pada pukul11, tanggal 12 April, Surya Paloh yang mengenakan kemeja lengan panjang sudah menunggu di kantor DPP Nasdem, Jl. RP. Soeroso, Menteng dan Sekjen PDI-Perjuangan, Tjahjo Kumolo juga sudah berada di kantor DPP Nasdem.

Sehari sebelumnya, Surya Paloh bertemu dengan Jusuf Kalla yang datang ke kantor DPP Nasdem dan setelah pertemuan, Surya Paloh mengatakan akan mengusulkan Jusuf Kalla menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres). Ketika bertemu dengan Jokowi, nama Jusuf Kalla dimunculkan sebagai Cawapres untuk mendampingi Jokowi. Usulam itu hanya didengar oleh Jokowi tanpa memberikan janji apa-apa. Walaupun demikian, selesai pertemuan, Surya Paloh di depan wartawan mengatakan, Nasdem mendukung Jokowi sepenuhnya dan siap berkoalisi dengan PDI-Perjuangan.

Siang hari, Jokowi menemui Ketua Umum Partai Golkar di Kantor DPP Golkar dan diterima oleh Aburizal Bakrie yang mengenakan kaos olah raga, didampingi beberapa pengurus Golkar. Setelah pertemuan, Jokowi menjelaskan kepada wartawan, Golkar akan maju dengan Capres sendiri.

Malam hari, Jokowi mendatangi DPP PKB dan diterima oleh Muhaimin Iskandar yang mengenakan kemeja batik dan menyediakan makan malam. PKB menyodorkan nama Mahfud MD atau Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres. Setelah pertemuan Muhaimin Iskandar menjelaskan kepada wartawan, belum ada kesepakatan dan minta siapa yang akan menjadi Cawapres dibicarakan bersama.

Minggu tanggal 13 April 2014, Jokowi sekali lagi menegaskan syarat koalisi yang disodorkan. Pada kesempatan meninjau Waduk Pluit, Jokowi mengatakan kepada wartawan, “Kami terbuka pada semua partai, silakan bergabung. Kami mau cari kawan sebanyak-banyaknya. Dengan catatan tidak bagi-bagi kursi menteri. Kita fokus selesaikan masalah bangsa dan negara.”

Tanggal 23 April 2014 di dalam sebuah diskusi, Sekjen Nasdem, Patrice Rio Capella menegaskan bahwa koalisi Nasdem dengan PDI-Perjuangan bukanlah koalisi basa-basi, sembunyi, atau pura-pura. Nasdem mendukung penuh koalisi kedua partai dan bersikap tegas sejak awal. Dalam koalisi tak ada deal atau syarat Nasdem meminta jadi Cawapres.

Dengan adanya pernyataan tersebut, tugas partai yang diemban oleh Jokowi, yaitu membentuk koalisi nontransaksional sudah berhasil dilaksanakan. Tanpa kesepakatan bagi-bagi kekuasaan dan tanpa kesepakatan siapa yang akan menjadi Cawapres, Nasdem sudah bersedia berkoalisi dengan PDI-Perjuangan sehingga berhak mendaftarkan Capres/Cawapres ke KPU karena perolehan suara PDI-Perjuangan digabung dengan Nasdem sudah melebihi 25 % suara pemilih, melewati syarat yang ditetapkan oleh KPU.

Selanjutnya, pemantapan koalisi nontransaksional dilakukan oleh PDI-Perjuangan di bawah komando Ibu Mega. PDI-Perjuangan lalu mengeluarkan pernyataan akan membangun koalisi kurus yang memberi pesan bahwa PDI-Perjuangan akan mengusung Jokowi menjadi calon presiden tanpa perlu melibatkan PKB. Bahkan pada tanggal 6 Mei PDI-Perjuangan menyatakan mencoret Mahfud MD dari daftar calon wakil presiden. Akibatnya, PKB menjadi sibuk sendiri, berusaha melakukan konsolidasi internal yang berujung pada penyelenggaraan Munas yang mengelurkan Surat Keputusan sepihak, menjadikan Jokowi Capres PKB, pada tanggal 10 Mei. Tetapi di depan wartawan Muhaimin Iskandar masih mengatakan minta diajak menentukan Cawapres.

Lalu ada perundingan antara Ibu Mega dengan Ketua Umum Golkar tetapi tidak membuahkan hasil. Karena waktu pendaftaran ke KPU sudah akan dimulai, PDI-Perjuangan harus memutuskan siapa yang akan dinobatkan menjadi Cawapres dan sebelum keputusan diambil, Ibu Mega berhasil mengajak Hanura untuk bergabung.

Pada saat deklarasi dukungan mitra koalisi, Surya Paloh mengatakan terharu menjadi partai pertama yang didatangi oleh PDI-Perjuangan untuk diajak berkoalisi, menyadari bahwa Nasdem adalah partai baru yang perolehan suaranya juga tidak besar. Terlihat, PDI-Perjuangan sangat jeli menjadikan Nasdem target pertama mengajak koalisi nontransaksional dan berhasil. Lalu dengan bermodalkan dukungan Nasdem, PDI-Perjuangan berhasil menggiring PKB untuk ikut koalisi nontransaksional dan kemudian Hanura dilibatkan untuk berjaga-jaga, dengan perhitungan, kursi DPR-RI dari PDI-Perjuangan digabung dengan Hannura lebih dari 20 % jumlah kursi DPR-RI sehingga berhak mencalonkan presiden tanpa melibatkan partai lain.

Dengan kerja keras yang cermat, PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega berhasil membangun koalisi nontransaksional mendukung Jokowi menjadi Capres dan ini adalah keberhasilan yang bersejarah. Walaupun perolehan suara PDI-Perjuangan di bawah 20 % tetapi mampu membangun koalisi nontrasaksional yang akan menjadi dasar tebentuknya pemerintahan presidensiil, seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno. Kedepan kita berharap PDI-Perjuangan dapat memperoleh suara lebih besar yaitu di atas 50 % sehingga sistem pemerintahan presidensiil dapat berjalan tanpa koalisi.

Setelah memenangkan pemilihan presiden, Jokowi tentu harus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya tetapi tanpa harus berbagi kekuasaan dengan partai politik mitra koalisi PDI-Perjuangan, karena jasa mereka belum tentu lebih besar dari relawan non partai, sebut saja, apa yang diberikan oleh Ibu Mooryati Soedibyo belum tentu lebih kecil dari kontribusi partai koalisi mitra koalisi PDI-Perjuangan.

Pada waktu menyusun kabinet, adalah saatnya Jokowi mempertimbangkan kekuatan koalisi partai politik di DPR yang akan mendukung jalan pemerintahannya, yang akan digalang oleh PDI-Perjuangan dengan format yang berbeda yang tidak harus sama dengan koalisi partai politik pendukung pemilihan presiden. Orang-orang yang sudah bekerja keras mendukung Jokowi hingga menjadi presiden tentu saja dapat dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam pemerintahan selama kemampuannya memadai, tetapi bukan kewajiban Jokowi untuk membalas jasa mereka.

PDI-Perjuangan dibawah kepemimpinan Ibu Mega sudah menyiapkan jalan bagi lahirnya pemerintahan presidensiil yang dapat menjalankan tugasnya tanpa ikatan bagi-bagi kekuasaan dan selanjutnya giliran Anda memilih Jokowi pada tanggal 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!

***


Pilihlah Jokowi – JK (3)

Bermula dari ucapan Ibu Megawati, Ketua Umum PDI-Perjuangan, pada hari Rabu tanggal 14 Mei 2014, di Kantor DPP PDI-Perjuangan, Lenteng Agung, yang mengatakan, "Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," bermunculan komentar di jejaring sosial, bahkan tidak sedikit berupa ejekan terutama dari pihak lawan yang mengatakan, “Jokowi hanya petugas partai,” sehingga beberapa pendukung Jokowi menyatakan, “Tidak akan memilih Jokowi karena ternyata hanya petugas dari Ibu Mega.”

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pesan Ibu Mega dan tidak ada yang salah pada status Jokowi sebagai “petugas partai” karena kata “petugas” mengandung  arti orang yang menjalankan tugas dan dalam kaitan ini, Jokowi menjalankan tugas partai untuk menjadi Calon Presiden RI.

Bandingkan dengan  Ibu Sri Mulyani yang menjalankan tugas negara menduduki Jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia. Tentu saja Sri Mulyani yang mendapat tugas negara, harus menjaga kepentingan Indonesia dalam menjalankan tugasnya, selama apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan atau merugikan kepentingan Bank Dunia, paling tidak, Sri Mulyani harus berusaha menjalankan tugasnya dengan baik, agar prestasinya dapat mengharumkan nama bangsa.

Tidak berbeda dengan apa yang harus dijalankan oleh Jokowi, PDI-Perjuangan memberinya tugas untuk menjadi calon presiden dan tentu dengan harapan dapat memenangakan pemilihan presiden sehingga, Presiden RI mendatang dapat dibanggakan sebagai orang PDI-Perjuangan.  Selanjutnya, sebagai petugas partai, Jokowi harus berusaha menjadi presiden yang berprestasi sehingga prestasinya dapat mengharumkan nama PDI-Perjuangan. Dampak dari keberhasilan Jokowi akan menaikkan perolehan suara PDI-Perjuangan pada pemilu 2019 dan tentu akan berakibat lanjutan, Jokowi dapat dipilh kembali untuk periode jabatan kedua. Jika prestasi Jokowi dapat terus dijaga, boleh diharapkan presiden setelah Jokowi juga akan berasal dari PDI-Perjuangan.

Selama yang diharapkan oleh PDI-Perjuangan dan Ibu Mega adalah Jokowi menjadi presiden Indonesia yang berprestasi, tidak ada yang salah dengan pernyataan Ibu Mega “Jokowi petugas partai” dan baru akan menjadi masalah jika Ibu Mega dan atau PDI-Perjuangan memanfaatkan kedudukan Jokowi sebagai presiden untuk sesuatu yang diharamkan oleh UU dan atau diharamkan oleh etika berpolitik dan berpartai.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada Ketua Partai yang memanfaatkan kedudukan kadernya di pemerintahan untuk melakukan korupsi dan celakanya korupsinya tertangkap KPK sehingga yang bersangkutan masuk penjara. Kita juga tidak dapat menyangkal bahwa ada partai politik yang memanfaatkan kadernya yang memegang kekuasan untuk mengeluarlan aturan atau menjalankan program yang menguntungkan posisi partainya di dalam pemilu. Untuk menilai apakah kemungkinan seperti itu akan terjadi pada hubungan antara PDI-Perjuangan dengan Jokowi dan atau antara Ibu Mega dengan Jokowi, setelah Jokowi menjadi Presiden RI, kita harus melihat rekam jejak Ibu Muga, PDI-Perjuangan dan Jokowi.

Setelah Jokowi menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), digulirkan program relokasi warga waduk Pluit, penertiban pedagang kaki lama, sterilisasi busway dan beberapa program lainnya. Lalu muncul masalah antara Ahok dengan Gerindra, partai yang dikomandani oleh Prabowo yang mengusung Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI. S aya kutipkan berita masalah tersebut untuk Anda.

Hubungan mesra Ahok dan Partai Gerindra kini terancam retak, sepertinya ada yang berubah diantara mereka. Hal ini dikarenakan kebijakan yang diambil Jokowi-Ahok dinilai tidak populis dan  bisa berimbas pada menurunnya jumlah pemilih Gerindra dari masyarakat kecil. Beredar berita bahwa Partai Gerindra tidak senang dengan relokasi warga waduk Pluit, penggusuran pedagang kaki lima, sterilisasi busway, dan beberapa program Ahok dinilai tidak pro rakyat.”

Kemudian ada berita Ahok akan dipecat dari Gerindra. Setelah mendapat keterangan dari Ahok wartawan menulis, “Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungkapkan rasa kecewanya pada partai yang telah mengantarkan dirinya menuju kursi kedua, mewakili Jokowi untuk memimpin ibu kota. Ahok secara terang-terangan membongkar kemarahan Partai Gerindra padanya, menyangkut soal kebijakan PKL (pedakang kaki lima). Ia tidak menggubris partainya yang marah padanya bahkan Ahok siap untuk di “pecat” jika Gerindra terus-menerus mendikte dan mengintervensi tentang kebijakan yang di pimpinnya.”

Harus diakui bahwa Ahok adalah pemimpin yang berani tetapi sikap Ahok kepada partainya pasti juga dipengaruhi oleh hubungan antara Jokowi dengan PDI-Perjuangan. Ahok melihat bahwa PDI-Perjuangan dan atau Ibu Mega tidak pernah mencampuri apa yang dilakukan oleh Jokowi untuk Jakarta.

Jika kita bandingkan partai besar yang ada sekarang, kita dapat mengatakan bahwa PDI-Perjuangan dibawah kepemimpinan Ibu Mega adalah partai yang mempunyai budaya kerja yang paling baik. Sebelum diputuskan, siapa yang akan menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi, beredar isu bahwa yang akan dipilih adalah Puan Maharani. Lalu, termaskan oleh isu tersebut, Ketua DPC PDI-Perjuangan Solo mengeluarkan pernyataan agar PDI-Perjuangan tidak memilih Mbak Puan, Belakangan Ketua DPC itu menguncurkan diri dan diisukan sebagai buntut dari pernyataannya. Tidak lama kemudian rencana pengunduran itu, dibatalkan karena semua DPAC di Solo mengancam akan bersama-sama mengundurkan diri. Kemudian terbukti yang dipilih untuk mendampingi Jokowi bukan Mbak Puan melainkan JK. Lalu kegiatan organisasi di dalam tubuh PDI-Perjuangan kembali berjalan seperti biasa.

Orang yang melihat PDI-Perjuangan dengan kaca mata sinis mungkin masih akan mengatakan, “Ya, karena perolehan suara PDI-Perjuangan di bawah 20 %, jika perolehan suara lebih banyak, pasti Megawati akan mendorong anaknya sendiri untuk mendampingi Jokowi.” Kita tidak dapat berandai-andai dengan apa yang tidak terjadi, tetapi jika kita mau melihat dengan jujur bagaimana Ibu Mega memilih JK, kita akan tahu bahwa dasar yang digunakan bukan masalah suka – tidak suka, bukan masalah kedekatatan – kejauhan, tetapi semata-mata perhitungan yang cermat agar pemerintahan mendatang di bawah kepemipinan Jokowi dapat berjalan dengan baik, dengan harapan dapat membawa Indonesia menjadi Hebat. 

Untuk melengkapi, mari kita ambil contoh lain yang dapat menggambarkan bagaimana Ibu Mega menyelesaikan persoalan di dalam tubuh PDI-Perjuangan. Kita lihat perseteruan antara Wali Kota Surabaya dan Wakilnya yang sama-sama dari PDI-Perjuangan. Perseteruan itu sudah terbuka dan diberitakan secara luas oleh media. Untuk mengatasinya, Ibu Mega mengajak Jokowi ke Surabaya. Lalu, Walikota dan Wakil-Walikota itu kembali menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan kata-kata Ibu Mega kepada Jokowi, “Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," karena Jokowi ditugaskan oleh Ibu Mega dan oleh PDI-Perjuangan untuk menjadi Presiden RI yang berprestasi.

Lebih lanjut, kita berharap Jokowi bukan hanya akan menjadi Presiden RI yang berprestasi tetapi Jokowi juga akan terus berperan membesarkan dan mendorong agar PDI-Perjuangan menjadi partai yang terbaik, karena Indonesia bukan hanya membutuhkan presiden yang baik tetapi juga membutuhkan adanya partai yang baik.

“Jokowi petugas partai” bukan alasan untuk tidak memilih Jokowi malah sebaliknya menjadi alasan yang kuat untuk memilih Jokowi pada tanggal 9 Juli mendatang.

Merdeka !!!!!
 
***



Pilihlah Jokowi – JK (2)

Ketika JK sebagai pasangan Jokowi masih sebatas dugaan, sudah ada beberapa pengamat yang meramalkan bahwa Jokowi akan mengalami kesulitan menghadapi JK, karena JK lebih senior dan lebih berpengalaman, malah ada yang mengatakan akan ada matahari kembar. Pendapat seperti itu bukan tanpa alasan, karena pada waktu JK menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi SBY, masyarakat melihat sikap dan langkah JK yang tidak mudah mau sejalan dengan SBY.

Masalah adu kuat atau adu pengaruh antara Presiden dengan Wakil Presiden di republik yang belum mencapai usia 70 tahun ini, sudah dimulai tidak lama setelah republik ini diproklamasikan. Waktu itu, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X yang mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil berdasar UUD 45 menjadi Parlementer yang tidak ada dasar hukumnya, tanpa konsultasi dan sepengetahuan Sukarno.

Setelah Hatta mengundurkan diri, Bung Karno sengaja tidak mengisi jabatan Wakil Presiden dan selama Pak Harto berkuasa, tidak pernah ada masalah dengan Wakil Presiden karena kekuasaan mutlak ada di tangan Pak Harto. Hubungan tidak harmonis antara Presiden dan Wakil Presiden juga terjadi pada masa Gus Dur berkuasa, tetapi setelah Ibu Mega memegang kekuasaan, Wakil Presiden dapat ditempatkan pada tugasnya sesuai konstitusi.

Menghadapi pemilu di tahun 2004, SBY membentuk Partai Demokrat, tetapi hasilnya tidak menguntungkan, Demokrat hanya mendapat 55 kursi, sementara Golkar 128, PDI-Perjuangan 109, PPP 58, PAN 53, PKB 52 dan PKS 45. Ketika mencalonkan diri sebagai Presiden, SBY menggandeng JK untuk mengisi jabatan Wakil Presiden, didukung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan PKS dan pada putaran kedua koalisi diperluas dengan mengajak PPP, PAN, dan PKB.

Sebelum SBY dan JK sepakat berpasangan sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden, di antara mereka sudah ada kesepakatan untuk berbagi kekuasaan. Artinya JK sudah mendapat kepastian bahwa sebagai Wakil Presiden tugasnya bukan sebagai ban serep tetapi bersama presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan.

Di dalam politik adu kuat kekuasaan diukur dari jumlah kursi di DPR. SBY melalui Partai Demokrat menguasai 55 kursi dan JK setelah berhasil merebut jabatan Ketua Umum Partai Golkar berhak mengatur 128 suara di DPR Artinya secara politik, JK lebih berkuasa dibandingkan dengan SBY.

Mengawali jalannya pemerintahan, SBY dan JK bersama-sama menyusun kabintet dan mulai saat itu kesulitan sudah muncul, keputusan susunan kabinet tidak barada di tangan Presiden tetapi harus juga disetujui oleh Wakil Presiden sehingga ketegangan hubungan antara SBY dan JK sempat mencuat ke permukaan, pembahasan susunan kabinet menjadi alot dan setelah terjadi kompromi, seolah-olah ada menteri yang menjadi bawahan SBY dan  ada menteri yang menjadi bawahan JK.

Dimulai dari hubungan kerja yang salah, selanjutnya selama 5 tahun pemerintahan SBY -JK diisi dengan persaingan dan perebutan kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden. JK bahkan pernah menginginkan mengeluarkan Keputusan Wakil Presiden tetapi hal itu tidak jadi dilakukan karena tidak dimungkinkan oleh konstitusi.

Hari ini Jokowi dan JK akan menjalani tes kesehatan, artinya sudah dapat dipastikan mereka berdua akan maju menjadi salah satu pasangan calon yang akan dipilih oleh rakyat untuk meminpim pemerintahan selama 5 tahun ke depan dan sebelum kita menjatuhkan pilihan, ada baiknya dikaji terlebih dahulu apakah JK akan menjalankan peran yang sama seperti pada waktu menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi SBY? Jika kejadian itu akan berulang, kita harus berani mengatakan lebih baik jangan memilih Jokowi – JK, tetapi mari kita lihat apa yang akan terjadi.

Proses penentukan calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Jokowi, dilakukan oleh PDI-Perjuangan di bawah pimpinan Ibu Mega tanpa melalui tawar menawar melainkan dengan mekanisme seleksi pengkajian dan pengamatan layaknya perusahaan mencari pekerja terbaik. Setelah dilakukan konsultasi dengan partai anggota koalisi, Ibu Mega bersama Jokowi memutuskan calon Wakil Presiden secara sepihak tanpa melibatkan JK dan JK yang menerima keputusan itu harus menyadari, telah dipilih untuk menjadi pembantu Jokowi sehingga apa yang akan dilakukan oleh JK sebagai Wakil Presiden sepenuhnya akan diatur oleh Jokowi yang harus berpedoman pada konstitusi.

Konstitusi sendiri tidak mengatur pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden dan memang tidak boleh ada pembagian kekuasaan, karena yang harus bertanggungjawab adalah Presiden dan tanggung jawab itu tidak boleh dibagi dengan Wakil Presiden. Tugas Wakil Presiden menurut konstitusi tidak lebih dan tidak kurang sebagai ban serep yang hanya boleh menjalankan kekuasaan Presiden hanya pada saat Presiden berhalangan.

Tentu saja untuk meringankan pekerjaannya, Jokowi dapat meminta JK untuk menangani masalah tertentu tetapi Jokowi juga dapat membagi habis semua tugasnya kepada para menteri sehingga tidak perlu memberi tugas apa pun kepada Wakil Presiden seperti yang pernah dialami oleh Prijanto ketika menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Fauzi Bowo.

Sebagai negara yang masih berkembang, ada baiknya Indonesia mulai membangun tradisi, hubungan kerja yang baik antara Presiden dan  Wakil Presiden dan sebagai perbandingan dapat dilihat sistem pemerintahan di Amerika Serikat di mana semua tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan Presiden sehingga kedudukan Wakil Presiden murni hanya sebagai ban serep.

Di usianya yang sudah melewati 72 tahun, sudah selayaknya dan kita semua berharap JK akan memberi teladan yang baik bagaimana menjalankan tugasnya 5 tahun ke depan sebagai Wakil Presiden sesuai dengan konstitusi sehingga dapat dijadikan contoh dan pegangan bagi generasi selanjutnya. Tentu saja, menjadi ban serep bukan berarti menganggur, karena ban serep harus selalu dibawa dan harus selalu siap digunakan, artinya menjadi Wakil Presiden harus selalu mengikuti jalannya pemerintahan dengan cermat dan siap bertugas pada saat diperlukan, yaitu ketika Presiden berhalangan.

Walaupun yang akan dipilih adalah pasangan Jokowi – JK tetapi sesungguhnya yang dipilih oleh rakyat adalah Jokowi karena sesuai konstitusi, Jokowi yang akan memimpin dan mengendalikan jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan.

PDI-Perjuangan dibawah kepemimpinan Ibu Mega bersama Jokowi sudah bekerja keras meletakkan dasar yang baik hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan konstitusi sehingga setelah menduduki jabatan Presiden RI, Jokowi dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa perlu ada masalah dengan Wakil Presiden. Selanjutkan adalah tugas kita, Anda dan saya untuk memilih Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 agar Indonesia dapat segera menjadi bangsa dan negara yang Hebat.

Merdeka !!!!!
 

***



Pilihlah Jokowi – JK (1)

Setelah diputuskan bahwa Joko Widodo (Jokowi) akan berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden RI periode 2014-2019 tidak sedikit yang sebelumnya sudah menjadi pendukung Jokowi malah kecewa, bahkan Sabam Sirait, politisi senior PDI-Perjuangan mengancam akan mengundurkan diri.

Mereka yang kecewa antara lain menuduh bahwa Jokowi tidak konsisten dengan ucapan sebelumnya yang pernah menyatakan akan memiih pasangan dari generasi yang lebih muda. Kenyataannya malah memilih JK yang jauh lebih senior bukan hanya dari segi usia tetapi juga dari segi pengalaman karena JK sudah pernah menduduki kursi Wakil Presiden RI, yaitu jabatan tertinggi di negeri ini setelah Presiden.

Bahwa Jokowi secara jujur ingin memilih pasangan dari generasi yang lebih muda, tidak perlu kita ragukan dan kita percaya bahwa keinginan itu memang keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Tetapi untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, Jokowi tidak mungkin hanya bermodalkan keinginan sendiri melainkan harus juga memperhatikan situasi yang akan dihadapai setelah terpilih menjadi Presiden RI ke-7 agar tugasnya sebagai Presiden dapat dijalankan dengan baik.

Jokowi bukan anak kemarin sore dan sudah merasakan sendiri sulitnya menjalankan tugas mensejahterakan rakyat, karena harus menghadapi kepentingan orang dan golongan yang tidak jarang malah berusaha sebaliknya. Jokowi pasti ingat ketika APBD yang diusulkan untuk membeli truk sampah ditolak oleh DPRD-DKI. Jokowi bersama Ahok tidak berkutik, karena anggota DPRD dari PDI-Perjuangan digabung dengan dari GERINDRA yang mendukung Jokowi-Ahok tidak mencapai 50 % lebih dari 1 dari seluruh kursi DPRD-DKI, sehingga dengan mudah keinginan luhur Jokowi-Ahok mensejahterakan rakyat Jakarta dijegal oleh pihak lawan.

Karena kekuasaan DPRD terbatas, Jokowi-Ahok masih dapat berakrobat sehingga pekerjaannya mensejahtrakan rakyat Jakarta masih dapat dilanjutkan. Tetapi, jika nanti Jokowi menjadi Presiden RI yang harus dihadapi adalah DPR-RI yang memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan DPRD yang bukan hanya dapat menjegal program kerja Presiden tetapi juga dapat membuat Presiden tidak dapat menjalankan tugasnya.

Pada pemilu legislatif, PDI-Perjuangan hanya memperoleh 18,95 % suara pemilih dan mendapat 109 kursi DPR-RI. Artinya tidak cukupi untuk mencalonkan Presiden/Wakil Presiden yang mensyaratkan 25 % mendapat suara pemilih atau 20 % menduduki kursi DPR-RI, yaitu  112 kursi. Karena itu PDI-Perjuangan harus mengajak partai lain untuk berkoalisi, bersama-sama mengusung calon Presiden/Wakil Presiden. Kosep yang ditawarkan PDI-Perjuangan sangat mulia, berkoalisi demi membangun bangsa bukan untuk bagi-bagi kekuasaan.

Partai yang pertama didatangi oleh Jokowi adalah Nasdem yang dipimpin oleh Surya Paloh dan tanpa banyak persoalan, Nasdem mendukung serta mengusulkan JK sebagai Wakil Presiden.  Nasdem mendapat 6,72 % suara pemilih dan menduduki 35 kursi DPR-RI, artinya gabungan suara PDI-Perjuangan bersama Nasdem melebihi syarat baik 25 % suara pemilih maupun 20 % kursi DPR-RI. Dengan demikian PDI-Perjuangan bersama Nasdem sudah dapat mencalonkan Jokowi sebagai Presiden RI tetapi tentu PDI-Perjuangan dan Jokowi tidak dapat menolak usul Nasdem bahwa JK yang akan menjadi Wakil Presiden.

Agar ada beberapa pilihan calon Wakil Presiden, Jokowi lalu melangkah menemui PKB yang menyodorkan 2 calon Wakil Presiden, yaitu Mahfud MD atau Muhaimin Iskandar. Dengan bergabungnya PKB, Jokowi dapat memilih Calon Wakil Presiden, satu diantara 3, yaitu JK, Mahfud MD, atau Muhaimin Iskandar. Tetapi memilih 1 dari 3 yang disodorkan tidak mudah, karena jika memilih salah satu ada kemngkinan tidak disetujui oleh yang lain sehingga yang akan terjadi belum lagi mendaftar ke KPU sudah harus menghadapi penolakan bahkan mungkin perpecahan.

Agar ada ruang yang lebih luas, PDI-Perjuangan berusaha mengajak Golkar ikut bergabung dan keinginan itu berbalas yang dapat dilihat dari kunjungan Ketua Umum Golkar ke rumah Ibu Mega. Tetapi kerjasama dengan Golkar ahirnya menjadi sulit karena calon yang disodorkan hanya Aburizal Bakri yang boleh ditempatkan sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden, sedangkan di dalam Golkar banyak kader muda yang layak dipilih oleh Jokowi sebagai calon Wakil Presiden.

Agar masih ada ruang yang lebih luas untuk menentukan pilian, PDI-Perjuangan berhasil mengajak Hanura sehingga total kursi DPR-RI yang didukung partai koalisi mencapai 109+35+47+16 = 207 kursi. Cukup banyak tetapi masih kurang 74 kursi untuk mendapatkan kekuatan 50 % +1 kursi DPR-RI.

Pada hari KPU sudah membuka pendaftaran Calon Presiden/Wakil Presiden yang akan berlangsung hanya selama 3 hari, PDI-Perjuangan dan Jokowi tidak punya peluang lagi memperluas pilihan calon pendamping dan harus memutuskan dari apa yang tersedia dan tentu kekuatan setelah menang menduduki kursi Presiden harus juga diperhitungkan agar tidak menjadi bulan-bulanan partai politik karena pendukung Jokowi tidak mencapai 50 % + 1 kursi DPR-RI.

Walaupun Golkar tidak berhasil diajak bergabung tetapi setelah pemilihan Presiden akan ada pergantian pengurus Golkar menurut mekanisme 5 tahun sekali sehingga kekuatan Golkar di DPR-RI setelah pemilihan presiden, masih mungkin digabung dengan kekuatan PDI-Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura yang akan mencapai 298 kursi. Jumlah yang cukup untuk mendukung jalannya pemerintahan Jokowi.

JK sebagai bekas Ketua Umum Golkar dan masih menjadi pengurus Golkar tentu saja dapat berbuat agar setelah pemilihan Presiden kekuatan Golkar dapat mendukung Jokowi dan dengan perhitungan itu pilihan PDI-Perjuangan dan Jokowi ahirnya jatuh pada JK untuk mendampingi Jokowi.

Walaupun Jokowi secara pribadi menghendaki pasangannya dari generasi yang lebih muda tetapi situasi tidak memungkinkan Jokowi memenuhi keinginan pribadinya. PDI-Perjuangan dan Jokowi sudah berusaha sungguh-sungguh dan tidak kenal lelah mendapatkan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia dan hasilnya adalah pasangan Jokowi – JK. Selanjutnya giliran kita semua memberi dukungan kepada pasangan Jokowi – JK agar dapat memimpin bangsa dan negara Indonesai dalam 5 tahun mendatang, menjadi bangsa yang HEBAT.

Merdeka !!!!!

 
 

No comments:

Post a Comment