Pilihlah
Jokowi – JK (18)
Anda
tidak perlu membandingkan London atau Amsterdam dengan Jakarta atau kota besar
lainnya di Indonesia untuk melihat betapa tertinggalnya kota-kota kita dan
betapa tidak sehatnya lingkungan hidup di kota-kota di Indonesia. Anda cukup
membandingkan Kuala Lumpur dengan Jakarta dan tak perlu melihat banyak sudut,
cukup lihat masalah air bersih saja maka Anda akan paham bahwa kehidupan
masyarakat di kota-kota di Indonesia sangat tidak sehat.
Di
Kuala Lumpur orang dapat jajan atau membeli makanan dari yang kelas restoran
sampai yang di pinggir jalan tanpa kuatir dengan air yang digunakan, karena semua
air yang digunakan berasal dari PAM yang kebersihannya dijamin oleh pemerintah
kota. Bandingkan jika Anda makan sate di pinggir jalan di Jakarta, coba tanya
dari mana air yang digunakan untuk membuat bumbu, jangan-jangan dari sumur yang
digali tidak jauh dari saluran air kotor yang bau dan lebih parah lagi ketika
Anda makan di restoran yang tampaknya bersih tetapi air yang digunakan dari
sumur pompa yang belum tentu memenuhi standar air bersih.
Saat
ini, lebih dari separuh penduduk Jakarta belum mendapat air bersih dari PAM dan
air bersih hanyalah salah satu masalah yang harus dibenahi agar masyarakat yang
tinggal di kota dapat menikmati hidup yang ehat. Masih banyak masalah lain yang
juga perlu segera ditangani antara lain sistem pembuangan air kotor, sistem
pengolahan sampah, dan lain-lain sampai ke masalah transportasi.
Calon
Presiden di Amerika Serikat bahkan Calon Perdana Menteri di Malaysia, tidak
perlu memamerkan kemampuannya memimpin kota atau membuktikan mampu mengatasi masalah-masalah
kota, karena administrasi kota-kota di negara mereka sudah berjalan dengan baik
sehingga kamampuan yang dibutuhkan untuk menjadi presiden atau perdana menteri
sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.
Untuk
memahami masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia kita harus menengok ke
belakang. Pemerintah kolonial Belanda melakukan investasi untuk kehidupan kota yang
sehat hanya sampai sekitar tahun 1939. Setelah itu ada perang dan kemudian Indonesia Medeka, ada revolusi, ada
gontok-gontokan, dan ada pemberontakan. Sementara investasi masih belum banyak dilakukan
sudah terjadi urbanisasi besar-besaran sehingga kemampuan kota memberikan
pelayanan kepada masyarakatnya menjadi semakin tidak memadai.
Selama
pemerintahan Pak Harto memang ada upaya memperbaiki kehidupan di kota termasuk
juga penyediaan air bersih, tetapi karena jabatan walikoa diangkat berdasarkan
kongkalikong para politisi di DPRD untuk mengusulkan 3 nama lalu calon yang
mampu memberi tebusan sejumlah uang ke pemerintah pusat yang dapat menduduki
kursi walikota akibatbnya terjadi korupsi dan nepotisme. Setiap ganti walikota
Dirut PDAM diganti dan penggatinya diambil dari kalangan keluarga walikota. Lihat
saja banyak pejabat PDAM berasal dari keluarga bekas walikota. Bahkan Walikota
Makassar ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK juga berkaitan dengan
PDAM.
Masalah
air bersih, sampah dan sebagainya memang menjadi urusan lokal, yang harus
ditangani oleh walikota dan bupati, tetapi tanpa kebijakan yang jelas dan benar
dari pemerintah pusat, tentu para kepala daerah akan kesulitan mengatasinya
sendiri-sendiri.
Bagaimana
membenahi pemerintahan kota agar dapat berperan melayani masyarakat, sudah dimulai
dengan menetapkan kota dan kabupaten sebagai basis otonomi daerah lalu
diselenggarakan pemilihan walikota dan bupati secara langsung sejak tahun 2004
dan agar para walikota dan bupati dapat mengelola wilayahnya dengan lebih leluasa,
diterbitkan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Jokowi
adalah generasii pertama walikota yang dipilih langsung. Berpasangan dengan FX Hadi
Rudyatmo dan diusung oleh PDI-Perjuangan, pasangan Jokowi-Rudi menang tipis
dengan perolehan suara sebanyak 36,62 % pada pemilihan walikota Solo tahun 2005.
Sedangkan lawannya, yaitu Purnomo-Istar memperoleh 29,08 persen. Tetapi pada
pemilihan untuk masa jabatan kedua dan masih berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo,
Jokowi – Rudy mendapat 90,09 suara. Artinya Jokowi berhasil membuat Solo menjadi
lebih baik dan hasil kerjanya diakui oleh warganya.
Selama
7 tahun memimpin Solo, Jokowi sudah paham apa yang harus dilakukan oleh seorang
walikota agar kehidupan kota menjadi lebih sehat dan lebih baik. Berbekal pengetahuan dan pengalaman tersebut,
setelah menjadi presiden, Jokowi tentu dapat mendorong kota dan kabupaten di
Indonesia agar dapat memberikan lingkungan hidup yang lebih sehat dan lebih nyaman
kepada masyarakatnya.
Jokowi
memang bukan satu-satunya walikota yang berprestasi, ada beberapa walikota dan
bupati yang juga baik tetapi dari 500 lebih jabatan bupati dan walikota, masih banyak
yang harus diperbaiki. Anda masih ingat ada bupati yang berani melarang Pesawat
Merpati mendarat hanya gara-gara dia tidak mendapat tiket untuk pulang ke
kotanya. Kejadian seperti itu akan berlalu begitu saja di mata seorang presiden
yang tidak memahami apa yang harus dilakukan oleh seorang bupati atau walikota
tetapi di mata orang yang berpengalaman, kejadian seperti itu akan memicu
keluarnya aturan agar para bupati dan walikota dapat mendahulukan kepentingan
rakyat dibandingkan kepentingannya sendiri.
Jika
Anda berharap dalam lima tauh ke depan kehidupan kota dan kabupaten di
Indonesia menjadi lebih sehat dan lebih nyaman, pilihlah Jokowi pada tanggal 9
Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah Jokowi – JK (17)
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang, sudah ada 6 presiden yang
pernah memimpin Indonesia. Coba Anda perhatikan, apakah ada presiden Indonesia
yang pernah menjadi pengusaha? Jawabnya jelas tidak ada. Dari 6 presiden yang
lalu, 2 di antaranya adalah tentara dan mantan tentara. Jadi jika Anda ingin
Indonesia berubah dan maju, jangan pilih lagi calon presiden yang bekas tentara,
agar di catat di dalam sejarah Indonesia, 2 tentara sudah cukup mendapat
kesempatan menjadi presiden dan kesempatan berikutnya harus diberikan kepada
orang dari latar belakang yang berbeda.
Bahwa seorang pengusaha diberi kesempatan menjadi penguasa memang ada berbahayanya
terutama jika sang pengusaha dapat memperbesar usahanya dengan memanfaatkan
kekuasaan negara dan pengusaha yang dapat memanfaatkan kekuasaan negara untuk
memperbesar usaha bukan hanya mereka yang bergerak di bidang usaha yang produk
atau jasanya dibeli oleh negara tetapi juga mereka yang kegiatan usahanya
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Contohnya importir daging sapi yang sudah terbukti dapat
memanfaatkan kekuasaan negara untuk membesarkan usahanya.
Jokowi tidak termasuk pengusaha besar karena skala usaha yang pernah
dijalaninya sebatas kota Solo. Kalaupun ada usaha dari Jokowi setelah me njadi
presiden nanti, memberi kemudahan agar usaha mebel yang pernah digelutinya
menjadi lebih kondusif tentu yang akan menikmati semua pengusaha mebel yang
jumlahnya banyak.
Ketika Belanda mulai menjalankan politik etis dengan memberikan
pendidikan kepada orang-orang Indonesia, tujuan utamanya adalah, agar para
lulusan dapat bekerja di pemerintahan yaitu menjadi Ambtenar (PNS sekarang) dan
dengan gaji yang relatif besar pada saat itu, cita-cita anak muda yang mendapat
kesempatan sekolah adalah menjadi Ambtenar. Kebiasaan itu masih terbawa hingga
sekarang, lihat saja pada saat penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, banyak
sekali yang mendaftar.
Di jaman dahulu yang menjadi pengusaha adalah orang Belanda dan orang asing
lainnya, jarang sekali Bumi Putera yang mau menjadi pengusaha. Akibatnya, setelah
merdeka dan sampai sekarang, Indonesia masih kekurangan pengusaha yang mampu
memajukan ekonomi bangsa. Di bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura
dan Malaysia, jumlah dan kualitas pengusaha Indonesia masih jauh tertinggal dan
untuk kemajuan bangsa, dorongan agar lebih banyak orang Indonesia mau menjadi
pengusaha harus terus dilakukan.
Jika nanti Jokowi yang pernah menjadi pengusaha dapat menjadi presiden,
bukan hanya iklim usaha yang dapat disehatkan tetapi juga keberadaannya dapat
memotivasi orang Indonesia, terutama anak-anak muda, bahwa orang dapat mulai berkarya
sebagai pengusaha dan tidak perlu menjadi pengusaha besar, untuk dapat menjadi
presiden.
Jika Anda berharap bahwa selama lima tahun ke depan wajah Indonesia
berubah karena dipimpin oleh orang yang pernah menjadi pengusaha, tidak ada
pilihan lain selain memilih Jokowi agar menjadi presiden pada 9 Juli mendatang.
Merdeka !!!!!
Menurut penjelasan Eva, di beberapa masjid di Cirebon, Jawa Barat, juga beredar tabloid terbitan Obor Rakyat yang menulis soal capres boneka. Tabloid tersebut tidak ada alamatnya.
Eva menambahkan, "Karena itu tampaknya, teman-teman mulai mikir kok masjid jadi tempat menyebarkan fitnah, serangan. Jadi diperlukan pemantauan. Kalau bisa direkam agar supaya masjid tidak dikotori fitnah. Kita kumpulin, seperti tabloid penerbit Obor Rakyat, lalu dilaporkan nanti."
***
Pilihlah
Jokowi – JK (16)
Perhatikan
Berita Liputan6.com berikut. "Saya menjamin menteri agama dari kalangan NU kalau Jokowi-JK
menang," kata Cak Imin di hadapan ratusan warga NU yang hadir dalam acara
tasyakuran kemenangan PKB Jatim di The Empire Palace, Surabaya, Jawa Timur,
Minggu 25 Mei 2014. Sementara itu, calon wakil presiden Jusuf Kalla yang hadir
di acara tasyakuran itu mengamini pernyataan Cak Imin. JK optimistis bahwa
menteri agama akan berasal dari kalangan NU apabila dirinya dan Jokowi menang
dalam Pilpres 2014. "Itu sudah bisa dipastikan," kata JK seraya
tertawa.
Jokowi sudah
di fait acccompli oleh JK. Menyadari kenyataan itu, apakah Jokowi menjadi sungkan
kepada JK yang lebih senior dan lebih berpengalaman lalu mengambil siap membiarkan
saja sehinggga janji Menteri Agama dari NU menjadi janji yang disetujui oleh Jokowi
juga. Apakah Jokowi membiarkan saja janji itu menjadi janji Jokowi agar tidak
kehilangan pemilih? Perhatikan berita berikut.
"Kita tidak berbicara masalah menteri. Sudah saya katakan
itu," kata Jokowi, menyanggah pernyataan Muhaimin yang partainya merupakan
salah satu mitra koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rabu
(28/5/2014).
Walaupun JK lebih senior dan lebih berpengalaman dan walaupun ada
resiko kehilangan pemilih, tetapi dengan tegas Jokowi membantah ada janji bahwa
Menteri Agama orang NU.
Jokowi bukan tentara dan
bukan bekas tentara, tetapi sangat
jelas bahwa Jokowi adalah seorang pemberani yang konsisten yang dengan tegas
mempertahankan prinsip yang dianutnya yaitu tidak ada bagi-bagi kekuasaan.
Jokowi memahami bahwa bagi-bagi kekuasaan berdampak buruk bagi jalannya
pemerintahan dan pasti akan merugikan rakyat.
Di lain pihak, pesaingnya, yang katanya bekas tentara malah sudah
bagi-bagi kekuasaan jauh sebelum kampanye resmi dimulai.
Sikap Jokowi tampak sangat kontras dengan sikap JK yang tidak mengormati
pasangannya dan mau jalan sendiri demi kepentingannya sendiri. Dengan kejadian
itu, JK sudah memberi sinyal, akan menghadapi Jokowi dalam pemerintahan mendatang
dengan semangat yang sama ketika menjadi
Wakil Presiden dalam pemerintahan SBY dan apa yang akan dilakukan JK sudah
terbaca oleh sejumlah pengamat. Perhatikan berita berikut.
Para
analis kuatir Jusuf Kalla akan membawa Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Chairul
Tanjung dan Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat untuk jadi menteri di Kabinet
Jokowi jika Jokowi terpilih jadi presiden. ‘’Isu itu sudah beredar di ruang
publik dan masyarakat politik sebagai mimpi buruk Kabinet Transaksional,’’ kata
Fathor Rasi MA, peneliti The New Indonesia Foundation (Yayasan Indonesia Baru).
Dalam
tim kampanye sekarang Anies Baswedan sudah dilibatkan dan ada kemungkinan yang
lain akan menyusul sehingga apa yang dikuatirkan memang benar terjadi. Tak heran,
belum juga pemilihan usai, sudah ada gesekan di dalam tim kampanye. Perhatikan
berita berikut.
"Tim Pemenangan Jokowi-JK harus lebih concern menggarap mesin
politik dalam memenangkan 9 Juli mendatang. Ketimbang terlalu banyak
mengakomodir peran-peran orang yang belum jelas basis riilnya," kata Ketua
Tim Pemenangan Jokowi-JK Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar dalam
pesan singkatnya yang diterima detikcom, Kamis (5/6/2014).
Adanya friksi di internal tim kampanye sebaiknya jangan ditutupi tetapi
dibiarkan dilihat oleh masyarkat sehingga orang tahu siapa menggunting di dalam
lipatan dan siapa yang menjadi musuh di dalam selimut dan kita berharap, para pemilih
tidak luntur kepercayanaannya kepada Jokowi karena percaya bahwa Jokowi akan
dapat menghadapi semua persoalan secara proporsional dan konstitusional.
Hasil survey menunjukkan bahwa di Jakarta dukungan pada Jokowi kalah
dibandingkan dengan pesaingnya, ada kemungkinan orang melihat bagaimana Jokowi
dapat bekerjasama dengan Ahok yang sama-sama jujur dan bekerja sepenuhnya untuk
rakyat, lalu meragukan Jokowi dapat bekerjasama dengan JK.
Ada baiknya dijelaskan kepada masyarakat luas, bahwa pola kerjasama
antara Jokowi dan Ahok di Jakarta, tidak mungkin diterapkan oleh Jokowi dalam
menghadapi JK setelah nanti terpilih menjadi presiden. Jokowi harus memilih pola
kerjasama yang berbeda yang dapat menjamin bahwa jalannya pemerintahan sepenuhnya
untuk kepentingan rakyat.
Memahami hubungan Jokowi dengan JK, masyarakat harus sadar bahwa
dukungan yang diberikan kepada Jokowi tidak cukup hanya sampai pada hari
pemilihan, setelah itu kita semua masih harus terus mengawasi agar Jokowi dapat
menjalankan tugasnnya dengan baik dan benar.
Memang kita menghadapi pilihan yang tidak ideal tetapi dari dua
pasangan yang ada, Jokowi-lah yang paling baik dan paling berhak untuk dipilih
menjadi presiden.
Merdeka !!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (15)
Sesorang
mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden pasti sudah mempunyai
konstituen yang diharapkan akan memilihnya. Mengenai pasangannya, seorang calon
persiden tentu akan memilih calon wakil presiden dengan konstituen yang berbeda
sehingga jika digabung, jumlah yang dapat diharapkan memilih, akan bertambah
banyak. Dengan cara itu kita dapat mengatakan bahwa calon presiden dan calon
wakil presiden bersinergi untuk mendapatkan jumlah pemilih yang lebih banyak. Tetapi
hal itu tidak terjadi pada pasangan Jokowi – JK yang dapat kita lihat dari
komentar seorang calon pemilih Jokowi yang berinisial AS ke saya, “Ahmad Jusuf
Kalla dan gerbongnya sangat tidak menarik”
Semua
orang yang menghendaki perubahan dan sudah melihat bagaimana dalam waktu
singkat Jokowi berhasil mengubah Jakarta, pasti akan memilih Jokowi dan tidak
mungkin yang lain. Salah satu contoh perubahan yang dilakukan Jokowi dan dilihat
oleh masayarakat luas adalah Waduk Pluit. Waduk itu sebelumnya kumuh lalu diubah
menjadi asri tanpa mengorbankan rakyat kecil, malah mereka yang sebelumnya
tinggal di kawasan waduk dapat tinggal di rumah susun yang lebih sehat.
Semua
orang yang menghendaki korupsi diberantas dan sudah melihat bagaimana Jokowi memberantas
korupsi di Pemprov DKI Jakarta, pasti akan memilih Jokowi dan tidak mungkin
yang lain. Seperti sudah dijelaskan oleh Jokowi bahwa memberantas korupsi tidak
mungkin hanya dilakukan dengan menegakkan hukum karena yang lebih penting adalah
memperbaiki sistemnya. Pada awal menjabat sebagai gubernur DKI, Jokowi
memperbaiki kesejahteraan karyawan dan pejabat pemda lalu menerapkan pembayaran
pajak daerah secara on line. Hasilnya pendapat daerah melonjak tajam. Setelah
itu korupsi dibabat dengan berani menggusur pajabat yang masih korup.
Semua
orang yang menghendaki nasionalisme dijunjungg tinggi dan sudah melihat
bagaimana Jokowi mempertahankan posisi Lurah Susan, pasti akan memilih Jokowi
dan tidak mungkin yang lain. Untuk mengisi jabatan lurah, Jokowi melakukan terobosan,
menyelenggarakan lelang jabatan lurah. Semua calon diseleksi dengan bantuan
konsultan SDM yang profesional sehingga di dapat calon yang memang unggul tanpa
melihat latar belakang suku, agama, maupun kedekatan. Menghadapi pendemo Muslim
yang menuntut agar Lurah Susan yang Nasrani dipindahkan, Jokowi tidak bergeming
lalu mengajak para pendemo makan siang bersama. Setelah itu persoalan selesai.
Masih
banyak lagi berbagai alasan, orang memilih Jokowi dan jika semuanya dijumlahkan
dapat diduga mencapai sekitar 70 % dari pemilih. Di samping banyak jumlahnya,
calon pemilih Jokowi juga sulit dibujuk
atau ditarik ke kubu pesaing karena kelebihan yang ada pada Jokowi tidak ada
pada pesaing.
Sebagai
bekas pengurus HMI dan termasuk salah satu tokoh Islam yang terkemuka di
Indonesia serta masih menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia, siapa yang akan
memilih JK sudah dapat dipastikan, yaitu Muslim yang berharap pengaruh Islam di
Indonesia akan tetap besar bahkan berkembang. Mereka adalah orang yang
mensyaratkan bahwa calon presiden harus dapat membuktikan ke-Islam-annya dan
salah satunya bisa mengaji.
Untuk
memastikan konstituennya memilih Jokowi sebagai presiden, JK menjual Jokowi
dengan kemasan Islam, mempromosikan kepada konstituennya bahwa Jokowi fasih
mengaji bahkan untuk membuktikannya, JK menantang diselenggarakan lomba mengaji
antara capres. Apakah dengan cara itu konstituen JK akan memilih Jokowi? Sangat
diragukan, karena pesaing Jokowi adalah Muslim tulen yang didukung oleh partai
Islam, yaitu PKS, PAN dan PPP. Ada
kemungkinan konstituen JK yang akan memilih Jokowi Nol Besar.
Upaya
JK menjual Jokowi dengan bungkus Islam, bukan hanya tidak akan mendapatkan pemilih
dari kalangan Muslim, kecuali sahabat dan kerabat dekat JK, tetapi malah akan
merusak kepercayaan para pemilih Jokowi yang jumlahnya sekitar 70 % suara
pemilih. Artinya sepak terjang JK tidak menambah jumlah pemilih bagi Jokowi
tetapi malah berpotensi menjadi unsur yang menggembosi dari dalam.
Alasan
pemilih Jokowi tidak suka pada JK ditulis “gerbongnya sangat tidak menarik” dan
pernyataan teesebut tidak didasari kecurigaan tetapi diangkat dari bukti yang sudah
dilakukan JK pada waktu menjabat Wakil Presiden dalam pemerintahan SBY,
yaitu memasukkan orang-orang HMI ke
dalam jajaran pemerintahan bahkkan bagi JK keponakan sendiri dijadikan menteri
juga tidak menjadi halangan.
Walapun demikian, secantik apa pun permainan JK pasti
akan dibuat tidak berkutik oleh Jokowi yang akan menyeleksi orang-orang yang
akan menjadi membantunya secara profesional dan mengingat secara konstitusi,
wakil presiden hanyalah ban serep, kita yakin Jokowi akan dapat mengendalikan JK
agar tidak mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan mendatang.
Anda
yang sudah mempunyai alasan yang kuat untuk memilih Jokowi tak perlu kuatir
dengan keberadaan JK sebagai Wakil Presiden, Jokowi pasti akan melakukan yang
terbaik bagi Indonesia.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (14)
Agar
para Ketua DPD Partai Demokrat memahami visi dan misi dari kedua calon presiden,
SBY mengundang para calon untuk memaparkan visi dan misi masing-masing di
hadapan para ketua DPD Partai Demokrat yang sedang berkumpul di Jakarta. Tetapi
yang hadir hanya Prabowo bersama Hatta sedangkan pasangan Jokowi dan JK tidak
hadir. Lalu apakah para ketua DPD Partai Demokrat tidak dapat mengetahui serta
mamahami visi dan misi dari Jokowi?
Bahwa
visi dan misi dibuat tertulis dan dipaparkan adalah sesuatu yang relatif baru.
Pada waktu Bung Karno menjadi presiden, belum ada istilah visi dan misi tetapi dari
apa yang ditulis oleh Bung Karno, kita dapat mengetahui, apa sebenarnya visi
dan misi Bung Karno. Menggunakan bahasa yang berbeda Bung Karno menjelaskan bahwa
tujuan jangka panjang bangsa Indonesia adalah Masyarakat Adil dan Makmur. Memang
selama pemerintahan Bung Karno tujuan jangka panjang tersebut belum tercapai,
tetapi melalui program nation and caharacter building, Bung Karno sudah meletakkan
dasar yang kokoh bagi tercapainya tujuan jangka panjang tersebut.
Sebelum
menjadi presiden, Pak Harto tidak pernah ditanya visi dan misinya, tetapi dari
sikap hidupnya Bung Karno sudah dapat melihat bahwa tentara yang bernama
Soeharto itu mempunyai visi dan misi yang dapat menjamin agar Indonesia seperti
yang dicita-citakan oleh Bung Karno dapat terus bergerak sampai ke tujuannya.
Setelah mendapat pengalihan kekuasaan dari Bung Karno, Pak Harto menjaga agar
NKRI tetap tegak berdiri sambil berusaha mensejahterakan rakyat dengan
melakukan pembangunan serta menegakkan ketertiban umum.
Di
jaman sekarang, sudah menjadi tradisi bahwa perusahaan-perusahaan menuliskan visi
dan misi masing-masing yang akan dijadikan pegangan dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari. Tetapi berbeda dengan perushaan swasta di mana pemiliknya sendiri
yang merumuskan visi dan misinya, organisasi pemerintah yang ikut terdorong menyusun
visi dan misi, biasanya menyerahkan penulisan visi dan misi kepada konsultan
dan karena pejabatnya berganti, visi dan misi tersebut biasanya hanya menjadi
hiasan dinding. Dari kenyataan itu, kita dapat mengatakan bahwa orang yang
terbiasa bekerja berdasarkan perintah, yaitu tentara, polisi, dan semua birokrat
tidak terbiasa merumuskan visi dan misi dengan kesadaran sendiri.
Gubernur
Jakarta sebelum Jokowi adalah seorang birokrat bernama Fauzi Bowo, visi dan
misinya pasti tidak jelek, buktinya berhasil mengalahkan Adang Daradjatun dalam
memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta. Tetapi setelah menjadi gubernur,
tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh Foke, jalannya pemerintahan relatif sama
seperti sebelumnya. Karena itu untuk memahami visi dan misi seorang calon
presiden jangan hanya membaca apa yang ditulis, karena yang ditulis hampir
pasti dikerjakan oleh konsultan atau orang yang dianggap ahli dan jangan mendengarkan
apa yang dipaparkan, karena apa yang dipaparkan hanya penjelasan dari apa yang
tertulis. Untuk memahami visi dan misi dari seorang calon preisden harus melihat
karyanya dan terutama reaksi spontannya atas masalah yang dihadapi.
Visi
dan misi pasangan Jokowi – JK sudah dirumuskan tetapi tidak berarti makna dari visi
dan misi tersebut sama bagi Jokowi dan JK. Lihat apa yang sudah dikerjakan oleh
keduanya maka kita akan memahami perbedaan antara Jokowi dan JK.
JK
mengatakan akan membangun infrastruktur dan tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan infrastruktur adalah hal yang penting bagi kemajuan Indonesia
tetapi lihat apa arti pembangunan infrastruktur bagi JK secara pribadi. Pada
waktu menjabat sebagai Wakil Presiden di pemerintahan SBY, JK menangani
pembangunan Monorel, palaksanaannya diserahkan kepada sebuah konsorsium di mana
PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan milik JK menjadi salah satu pemegang saham.
Kita dapat melihat bahwa keinginan JK membangun infrastuktur belum tentu
semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara karena ada kepentingan pribadi,
yaitu agar perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi ikut berkembang.
Jika
Jokowi ditanya apa yang akan dilakukan setelah menjadi presiden lalu menyebut
agar Indonesia menjadi pengekspor mebel terbesar, tentu saja kita dapat
mengatakan, ada kepentingan pribadi di balik visi dan misi itu. Tetapi perhatikan
apa yang dikatakan oleh Jokowi di pada Rapat Koordinasi Nasional V Tim
Pengendali Inflasi Daerah 2014 di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Rapat diegelar
pada tanggal 21 Mei yang lalu dan dipimpin oleh SBY serta dihadiri oleh Gubernur
dari Seluruh Indonesia, Jokowi mengatakan bahwa laut harus menjadi jalan tol
untuk menekan biaya logistik.
Apa
yang diungkap oleh Jokowi memang berdasarkan pengalaman pribadi, yaitu mengirim
barang ke Eropa ternyata lebih murah dibandingkan dengan mengirim barang ke
Papua. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi calon presiden, pengalaman
pribadi itu mucul dan dijadikan visi dan misi bahwa biaya logistik harus dibuat
murah dan karena sebagain besar wilayah Indonesia berbentuk laut maka laut
harus dijadikan jalan tol.
Di
dalam pembangunan terutama di bidang transportasi dikenal istilah “Ship follow
the trade” dan “Trade follow the ship”. Orang-orang yang terbiasa bekerja
berdasarkan perintah dan para ekonom yang biasa melakukan sesuatu berdasarkan
pertimbangan nilai ekonomi, cenderung selalu menerapkan prinsip “Ship follow
the trade” yaitu membeli kapal jika angkutan sudah pasti ada. Tetapi seorang
pemimpin yang visioner berani menerapkan prinsip “Trade follow the ship” yaitu
membeli kapal terlebih dahulu karena yakin angkutan secara bertahap akan datang.
Dengan adanya kapal, barang lokal dapat dicoba di bawa ke daerah lain untuk
mendapatkan harga jual yang lebih tinggi, akibatnya kegiatan ekonomi akan
berkembang dan kemakmuran akan lebih merata. Pendekatan “Trade follow the ship”
memang mengandung resiko yaitu menderia rugi pada awalnya tetapi manfaatkan
dalam pembangunan ekonomi terutama pemerataan ke seluruh pelosok tanah air akan
sangat besar.
Dari
ungkapan menjadikan laut jalan tol, sudah tampak dengan jelas bahwa visi dan
misi Jokowi adalah mensejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Akibat
kemudahan transportasi, kemakmuran penduduk luar Jawa akan meningkat dan
diharapkan akan memicu migrasi sehingga kepadatan penduduk di Jawa dapat berkurang
dan selanjutnya akan mengurangi jumlah penduduk miskin di Jawa.
Untuk
meyakini bahwa seorang calon presiden akan mampu memberantas korupsi jangan
melihat dari visi dan misinya yang sudah ditulis dalam lembaran-lembaran yang
indah tetapi lihat dari apa yang pernah dilakukan. Bagaimana kita dapat percaya
pada seorang calon presiden yang mangatakan akan memberantas korupsi padahal dalam
parjalanan hidupnya belum pernah memberantas korupsi. Sementara apa yang
dilakukan oleh Jokowi terhadap pejabat DKI yang korup sudah diberitakan dan
diketahui banyak oarng.
Jika
Anda berharap pemerintahan mendatang akan bekerja untuk rakyat yang artinya
juga bekerja untuk Anda, tidak ada pilihan lain selain memilih Jokowi pada
pemilihan presiden 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (13)
Salah
satu syarat penting untuk dapat menjalankan tugas sebagai presiden adalah mempunyai
kemampuan berfikir mandiri sehingga dapat menambil keputusan sendiri. Di dalam
catatan sejarah Indonesia ada dua negarawan besar yang dapat menjalankan
tugasnya sebagai presiden dengan prestasi yang luar biasa, karena mampu
berfikir mandiri, yaitu Bung Karno dan Pak Harto.
Bung
Karno tidak pernah bekerja pada orang lain dan sejak muda selalu menjadi ketua
atau pemimpin. Pada waktu harus memilih antara bekerja sama dengan Jepang atau
melakukan garakan bawah tanah, Hatta tidak berani mengambil keputusan dan Bung
Karno yang mengambil langkah menerima ajakan Jepang untuk bekerjasama. Pada
waktu menghadapi Pemilu di tahun 1950-an dan melihat kemungkinan Indonesia akan
menjadi negara Islam, Bung Karno berani menghidupkan kembali PKI.
Pak
Harto memang tentara, tetapi tentara pada jaman revolusi di mana komandannya
mempunyai kebebasan untuk mengambil langkah sendiri. Mengetahui ada truk
Belanda yang membawa senjata yang akan diserahkan kepada Sultan Hamangku Buwono
IX selaku Menhankam, Pak Harto melakukan penghadangan dan mengambil
senjata-senjata tersebut karena merasa senjata itu dibutuhkan oleh pasukannya.
Akibatnya Menhankam mengancam akan mengundurkan diri, tetapi berhasil dicegah oleh
Bung Karno dan senjata tetap dikuasai oleh Pak Harto.
Semasa
kepemimpinan Pak Harto organisasi tentara terus dibenahi sehingga tidak ada
lagi peluang bagi para komandan mengambil inisiatif sendiri dan sejak Benny
Moerdani menjadi Panglima TNI, semua komandan tentara harus bekerja berdasarkan
perintah dan orang yang terbiasa bekerja berdasarkan perintah selama
bertahun-tahun, setelah lepas dari dinas tentara akan sulit berfikir mandiri.
Ada
beberpa tentara dan polisi yang berhasil menduduki jabatan gubernur setelah
reformasi, antara lain Bibit Waluyo di Gubernur
Jawa Tengah dan I Made Mangku Pastika di Bali. Tetapi setelah mendduduki jabatan
gubernur tidak ada tentara dan polisi yang prestasinya menonjol. Bibit Waluyo
dikalahkan oleh Ganjar Pranowo pada waktu maju untuk masa jabatan kedua. I Made
Mangku Pastika masih beruntung, dengan kelebihan suara yang sangat tipis masih
dapat mempertahankan kursi gubernur untuk periode kedua, tetapi prestasinya
kalah jauh dibandingkan dengan Jokowi yang dalam watu singkat sudah jadi
perbincangan banyak orang.
Orang
yang biasa bekerja perdasarkan perintah setelah menduduki jabatan yang
memerlukan berfikir mandiri, banyak mengandalkan masukan dari staf dan di alam
birokrasi yang bokbrok, ketidakmampuan berfikir mandiri dapat menjerumuskan
sang pemimpin, terseret korupsi yang digerakkan oleh bawahannya, buktinya dapat
dilihat dari pejabat yang ditangkap oleh KPK
Mengawali
tugasnya sebagai presiden, Ibu Mega banyak dilecehkan sebagai Ibu rumah tangga
yang menjadi presiden. Tetapi jika kita lihat bagaimana Ibu Mega berani
memerintahkan agar pembangunan MRT yang sudah disiapkan dengan matang oleh
Departeman Perhubungan untuk ditinjau ulang, kita dapat mengatakan bahwa
kemampuan berfikir mandiri sangat penting bagi seorang yang menduduki jabatan
presiden.
Jokowi
tidak pernah bekerja berdasarkan perintah orang lain dan pada waktu menjabat
Walikota Solo banyak terobosan yang dilakukan karena mampu berfikir mandiri,
tetapi tidak diberitakan secara luas karena ruang lingkupnya masih kecil. Setelah
menjabat Gubernur DKI Jakarta, kemampuannya berfikir mandiri sangat tampak,
pada waktu melakukan penertiban Waduk Pluit, tak segan-segan mendamprat
bawahannnya yang korup dan tidak bisa bekerja profesional, kepala UPT Rusun DKI
pun dipecat.
Banyak
orang menyangka bahwa tentara terbiasa bertindak tegas, tetapi orang lupa bahwa
tentara memang harus berttindak tegas dalam rangka menjalankan perintah. Tetapi
tanpa ada perintah, belum tentu seorang mantan tentara mampu bertindak tegas. Karena
itu, ketegasan seorang pemimpin harus dilihat dari kinerjanya yang harus teruji
terutama ketika menghadapi orang dekatnya.
Pada
waktu meluncurkan program satu hari dalam sebulan, pergi kerja menggunakan
angkutan umum, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menolak, tetapi Jokowi
tidak peduli dan ahirnya sang Wagub pun terpaksa mengikutinya. Tentu saja, jika
Jokowi menjadi presiden tantangannnya akan lebih berat dan apa yang harus
dihadapi sudah tampak dari sekarang.
Direktur
Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada tanggal 27 Mei yang
lalu mengatakan, "Jusuf Kalla akan lebih dominan di pemerintahan Jokowi
2014, ketimbang di pemerintahan SBY 2004. Namun di permukaan dan publik, JK
akan lebih bermain cantik untuk tetap mengedepankan Jokowi karena Jokowi yg
menjadi presidennya."
Denny
JA mengungkapkan kesimpulannya itu setelah berdiskusi dengan JK pada Senin
(26/5) pagi untuk mengetahui pandangannya soal pemerintahan di 2014 nanti.
Dengan
memahami bahwa Jokowi mempunyai kemampuan berfikir mandiri dan terbukti dapat
bertindak tegas walaupun menghadapi orang terdekatnya, kita tidak perlu ragu
bahwa secantik apa pun permainan yang akan dijalankan oleh JK, Jokowi pasti
dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah Jokowi – JK (12)
Berdasarkan Surat Keputusan
Presiden yang sudah ditandatangani oleh SBY kemarin petang, mulai hari ini
Jokowi resmi menjadi gubernur non-aktif atau diberhentikan sementara dari
jabatannya hingga KPU menetapkan presiden dan wapres terpilih pada 22-24
Agustus.
JK yang berpasangan dengan Jokowi
tidak memegang jabatan pemerintahan tetapi menjabat sebagai Ketua PMI dan Ketua
Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ketika ditanya wartawan pada hari Kamis 22 Mei,
di Markas PKPI, apakah ada rencana melepas kedua jabatannya tersebut, JK menjawab, "Ndak ada rencana seperti itu, nantilah
ada waktunya, pada masa kepengurusan berakhir." Artinya JK tidak akan
melepas kedua jabatan tersebut walaupun nanti menjabat sebagai Wakil Presiden.
Mengenai jabatan Ketua PMI karena
bersifat kemanusiaan yang tidak berkaitan dengan politik, mungkin tidak ada
masalah. Tetapi tentang Ketua Unun DMI, JK mengatakan, di acara Rakernas
Muslimat NU, Jumat (30/5), "Dewan masjid sama sekali tidak akan dan tidak
boleh melaksanakan kegiatan politik apalagi pernyataan. Walaupun saya ketuanya,
saya tidak akan membuat pernyataan politik di sini."
Mungkin JK benar tidak akan
memanfaatkan masjid untuk kegiatan politik apalagi yang berkaitan dengan
pemilihan presiden tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masjid
dijadikan tempat untuk menyebarkan kampanye hitam dengan sasaran Jokowi yang
tentu juga merugikan JK karena Jokowi dan JK adalah satu paket.
Jumat pagi yang lalu, Ketua DPC PDI-Perjuangan
Jakarta Timur mengeluarkan istruksi, ”Kader banteng yang beragama Islam
diinstruksikan untuk melaksanakan shalat Jumat hari ini. Tujuannya, memantau
materi ceramah khotib Jumat.”
Beredarnya
intstruksi tersebut memancing reaksi, ada yang menulis, “GILA EMANG NIH JOKOWI
& PDIP, MIRIP INTEL, POLISI, TENTARA ZAMAN ORDE BARU SOK SOK NGAWASIN
KHUTBAH JUMAT. EMANG LOE SIAPA? BLM BERKUASA AJA DAH NGANCAM DEMOKRASI, BERGAYA
ALA FASIS. BRENGSEK!”
Ketua
Umum PP Pemuda Muhammadiyah Saleh P. Daulay, mengatakan, "Kenapa tidak
sekalian sweeping saja? Kenapa mesti mengirim 'tukang intip'? Saya khawatir,
ini bisa dilihat masyarakat sebagai upaya pengembalian rezim otoriter dengan
masuknya intervensi ke rumah-rumah ibadah. Lagi pula, yang potensial memanfaatkan
masjid itu ya tim Jokowi-JK. Bukankah Ketua Umum Dewan Mesjid Indonesia adalah
JK? Jaringan mesjid se-Indonesia itu dikuasai JK. Merekalah yang paling mungkin
memanfaatkan masjid-masjid untuk hal-hal seperti itu."
Bahkan
Ketua MUI Amidhan ikut berkomentar, “Pengawasan itu sangat melukai umat Islam,
sejak kapan mereka menjadi polisi agama? Jika polisi agama, wajar jika adanya
pengawasan terhadap masjid. Sama seperti zaman penjajahan, bicara politik
langsung dilaporkan ke polisi."
Ketika
masalah insttuksi tersebut ditanyakan kepada Eva K. Sundari, fungsionaris
PDI-Perjuangan, dijawab, "Aku dengar begitu. Karena memang serangan kepada
Jokowi-JK di masjid-masjid sangat intensif. Serangan ke Jokowi-JK minta ampun,
fitnah, bahkan beberapa penceramah melakukan kampanye hitam secara masif."
Menurut penjelasan Eva, di beberapa masjid di Cirebon, Jawa Barat, juga beredar tabloid terbitan Obor Rakyat yang menulis soal capres boneka. Tabloid tersebut tidak ada alamatnya.
Eva menambahkan, "Karena itu tampaknya, teman-teman mulai mikir kok masjid jadi tempat menyebarkan fitnah, serangan. Jadi diperlukan pemantauan. Kalau bisa direkam agar supaya masjid tidak dikotori fitnah. Kita kumpulin, seperti tabloid penerbit Obor Rakyat, lalu dilaporkan nanti."
Selanjutnya
Eva mengatakan, "Yang punya ide itu Jaktim dulu. Bukan tidak mungkin
diikuti seluruh (Indonesia). Karena di Jabar sangat meluas."
Terbukti
bahwa JK tidak dapat menempatkan masjid seperti yang dia harapkan, JK tidak
mampu melarang agar masjid tidak digunakan sebagai tempat kampanye dan
celakanya kampanye yang gencar dilakukan melalui masjid-masjid justru menyerang
Jokowi. Artinya karena JK selaku Ketua Uumum DMI tidak mampu menghentikan
serangan kepada kubunya sendiri, JK dapat dikatakan membiarkan fitnah itu
disebarluaskan, bahkan dapat dikatakan JK menggunting pita di dalam lipatan.
Menyadari
bahwa posisinya sebagai Ketua Umum DMI malah merugikan, seharusnya JK segera
melapaskan jabatan Ketuan Umum DMI dan jika JK tidak mau mengambil inisiatif melepaskan
jabatan Ketua Umum DMI sudah seharusnya PDI-Perjuangan secara resmi meminta JK
melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum DMI.
Kita
sungguh berharap JK berusaha dengan sungguh-sungguh memenangkan Jokowi agar
menjadi presiden dan kita tidak berharap kehadiran JK sebagai pasangan Jokowi
malah menjadi unsur yang menggembosi dari dalam dan kepada pendukung Jokowi,
apa pun yang dilakukan oleh JK diharap tetap memilih Jokowi karena Jokowi yang
akan menjadi presiden.
Merdeka
!!!!!.
***
Pilihlah
Jokowi – JK (11)
Tanggal
10 Oktober 2014, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo meresmikan peletakan batu
pertama (groundbreaking) pembangunan konstruksi sarana transportasi massal
(MRT) di Dukuh Atas, Jalan Tanjung Karang, Jakarta Pusat setelah ada kepastian
bahwa pembangunan itu tidak merugikan bangsa dan negara.
Proyek
itu sebenarnya sudah digagas lebih dari 20 tahun yang lalu. Berdasarkan Jakarta
Mass Transit System Study yang diselenggarakan pada tahun 1989-1992, diusulkan
pembangunan MRT di Jakartan. Persiapan dilakukan oleh Departemen Perhubungan,
dengan konsep Build Operate and Transfer (BOT) yang akan didanai melalui pinjaman
dari pemerintah Jepang dan pembangunannya akan dilaksanakan oleh kontraktor
Jepang. Setelah menduduki kursi presiden, Megawati melihat bahwa proyek itu
akan membebankan keuangan negara dalam jangka panjang dan akan merugikan
pengembangan kemampuan enjinering bangsa Indonesia. Lalu dengan berani Megawati
meminta proyek itu ditinjau ulang yang artinya untuk sementara dihentikan
sampai ada fomulasi lain yang menguntungkan bangsa dan negara.
Penghentian
proyek itu tentu saja mengecewakan Departeman Perhubungan karena berarti
peroyek besar yang sudah lama mereka siapkan gagal dilaksanakan. Di samping itu
penghentian proyek itu juga disesali oleh banyak kalangan profesional yang
mengatakan bahwa Jakarta perlu memiliki trasnportasi massal. Sebagai gantinya,
tanpa menyertakan Pajabat Departeeman Perhubungan, Megawati mengadakan lawatan
ke luar negeri mengajak Gubernur DKI Jakarta yang waktu itu dijabat Sutiyoso,
mencari bentuk transportasi massal yang lebih cocok untuk Jakarta dan sesuai dengan
kemampuan keuangan negara lalu ada alternatif, yaitu Bus Way dan Monorel.
Sepulang
dari lawatan, Gubernur Jakarta langsung bergerak menyiapkan Bus Way Koridor 1 antara
Jakarta Kota – Blok M, tanpa konsultasi dengan Depareman Perhubungan. Menjelang
peresmian, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Iskandar Abu Bakar menyatakan
pembanguna Bus Way tanpa koordinasi dengan Departeman Pehubungan, bahkan
Menteri Perhubungan Agum Gumelar meminta peresmian Bus Way diundur. Tetapi Sutiyoso
yang mendapat dukugan dari Megawati tidak menghiraukan permintaan Menteri
Perhubungan dan tanpa kehadiran Menteri Perhubungan, peresmian Korider 1 tetap
dijalankan pada tanggal 15 Januari 2004. Megawati tidak hadir pada persemian tersebut
tetapi Taufiq Kiemas mengikuti jalannya peresmian hingga selesai.
Karena
Monorel menyangkut investasi yang besar, pembangunannya tidak dapat dimulai pada
masa pemerintahan Megawati dan setelah SBY menjadi presiden, proyek itu
ditangani oleh JK. Pada bulan Juli 2005 ada kesepakatan bahwa pembangunan
Monorel akan dikerjakan oleh sebuah sebuah konsorsium bernama PT Jakarta
Monorail (JM) dengan pemegang saham antara lain PT Bukaka Teknik Utama (Milik
JK) dan PT INKA, sebuah perseroan pemerintah. Tahun 2006 PT Adhi Karya, sebuah
perseroan pemerintah memulai pembangunan tiang monorel di jalan Rasuna Sahid
tetapi dihentikan pada tahun 2007 karena tidak ada kejelasan dasar kerjasamanya
dengan pemerintah DKI Jakarta.
Hingga
JK turun dari kursi Wakil Presiden, pembangunan monorel tetap berhenti. Fauzi
Bowo dalam debat pemilihan Gubernur menjelaskan bahwa mangkraknya proyek Monorel
bukan kesalahan Pemprov DKI melainkan kesalahan investor dari pihak swasta. Foke
mengatakan, "Subsidi yang diharapkan dari proyek ini terlalu besar, ini
harus kita kurangi dan tidak boleh kita berikan begitu saja. Mana boleh subsidi
diberikan kepada swasta, ini tidak adil dan tak berpihak pada rakyat."
Setelah
Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, pembangunan monorel kembali dibahas dengan PT
JM dan tidak lama kemudian JK menjelaskan kepada Wartawan sehingga ditulis berita
“Hadji Kalla Group memastikan akan mengembangkan proyek monorel di Indonesia.
Pemilik Hadji Kalla, Jusuf Kalla (JK) mengatakan akan menggarap monorel di Kota
Jakarta, Makassar Sulawesi Selatan dan Bandung Jawa Barat.”
Sebelum
MOU kerjasama pembangunan kembali monorel ditandatangani oleh Jokowi, persoalan
mencuat ke permukaan, PT Adhi Karya tidak mau lagi ikut dalam konsorsium PT JM
dan bersedia menjual sahamnya di PT JM serta meminta penggantian atas biaya pembuatan
tiang yang sudah dikeluarkan. Sejak saat itu JK tidak bersuara lagi tentang
Monorel dan belakangan ada berita bahwa Edward Suryajaya yang akan mendanai
proyek itu.
Adhi
Karya menuntut pembayaran 190 Milyar tetapi PT JM hanya mau membayar sebesar
Rp. 130 Milyar. Mengenai posisinya, PT Adhi Karya mengatakan keterlibatannya dalam
pembangun tiang moonorel karena ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur
pembangunan monorel di Jakarta. Atas keterangan tersebut, Sekretaris Kabinet Dipo
Alam pada tanggal18 Maret 2014, menjelaskan bahwa PP itu tidak pernah ada bahkan
draf-nya pun tidak pernah ada.dan setelah ditanyakan ke Kementerian Perhubungan
juga tidak pernah ada rencana mengeluarkan PP seperti itu.
Menjelang
cuti mengikuti pemilihan presiden, kerjasama pembangunan monorel belum juga
ditandatangai oleh Jokowi dan Wagub DKI Jakarta
sudah mengatakan, tidak akan menandatangai kerjasama itu selama Jokowi cuti.
Tanggal16 Mei Jokowi memberi penjelasan kepada wartawan, "Saya harus
hati-hati mengambil keputusan mengenai kelanjutan pembangunan monorel ini. Saya
tidak mau nanti muncul masalah setelah perjanjian kerja sama ditandandatangani
oleh kedua belah pihak."
Walapun
persoalan monorel belum beres di tingkat Pemprov DKI, tetapi Direktur Lalu
Lintas dan Angkatan Kereta Api Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian
Perhubungan, Hanggoro Budi Wiryawan menjelaskan bahwa pemerintah pusat mendukung
pembangunan monorel dan mereka sudah bertemu dengan pihak PT JM.
Tentang
kaitan JK dengan proyek itu, Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada tanggal
23 Mei mengatakan "Pak JK sudah terlibat dalam menolong PT JM (Jakarta
Monorail). Sudah ada dukungan jaminan dari Menteri Keuangan waktu itu Sri
Mulyani. Istilahnya dipaksa beri jaminan. Tapi nyatanya mangkrak, dibatalkan.
Jadi kalau Pak JK jadi wapres lagi, biar (proyek monorel) pakai APBN sajalah."
Dari
kisruh pembangunan monorel, kita dapat menyimpulkan bahwa Jokowi adalah
pemimpin yang tegas dan penuh perhitungan, tidak mau sembarangan mengambil
keputusan yang ahirnya merugikan pemerintah bahkan rakyat dan kita yakin Jokowi
akan membenahi Kementerian Perhubungan agar tidak lagi bekerja berdasarkan
kepentingan proyek (Project Oriented) tetapi dapat menyusun konsep perhubungan
yang efektif dan efisien yang dituangkan dalam bentuk peraturan serta panduan
sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan transportasi.
Jika Kementerian Perhubungan dapat dibenahi tentu masalah seperti monorel tidak
perlu lagi ikut ditangai oleh presiden.
Bagi
calon pemilih Jokowi, masalah JK tidak perlu dirisaukan karena yang akan
menjadi presiden dan mengendalikan jalannya pemerintahan adalah Jokowi. Dari
pengalaman menangani monorel di Jakarta, Jokowi pasti sudah tahu apa yang harus
dikerjakan agar pemerintah dapat memberi pelayanan yang baik kepada rakyat.
Jadi
pilihlah Jokowi pada pemilihan presden tanggal 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (10)
Setelah
memenangkan pemilihan presiden dan berhasil menyusun kabinet dengan format yang
efektif dan efisien, Jokowi dapat menerapkan sistem pemerintahan presidensiil
tanpa banyak kesulitan. Karena semua tanggung jawab pemerintahan ada di tangan presiden, logikanya semua kegiatan menteri juga
harus berada di bawah koordinasi presiden sehingga presiden tidak perlu berbagi
tanggungjawab dengan wakil presiden dan bagaimana menata hubungan administrasi
antara presiden dengan wakil presiden, dapat dipelajari dari pemerintahan
sebelumnya.
Dari
mulai menjabat sebagai Wakil Presiden, Megawati sudah sadar, tidak mungkin
dapat sejalan dengan Gus Dur. Lalu Megawati meminta Sekretaris Wakil Presiden,
Bambang Kesowo, merancang sekretariat wakil presiden yang cukup besar agar
wakil presiden dapat ikut berperan besar dalam mengendalikan jalannya
pemerintahan. Bambang Kesowo memaparkan format sekretariat wakil presiden di
hadapan Megawati untuk disetujuai dan kemudian tanpa kesulitan juga disetujui oleh
Gus Dur.
Setelah
Gus Dur dilengserkan dan Megawati menjadi presiden, Bambang Kesuwo diangkat menjadi
Menteri Sekretariat Negara, Megawati memerintahkan agar sekretariat wakil presiden
diperkecil, sampai sebatas yang perlu untuk jabatan wakil presiden yang
bersifat sebagai ban serep. Tentu saja Hamzah Haz protes, meminta agar sekretariat
wakil presiden tetap dipertahankan seperti pada jaman Megawati menududuki kursi
wakil presiden, tetapi karena yang berkuasa adalah presiden, protes Hamzah Haz
tidak dihiraukan.
Setelah
memenangkan pemilihan presiden, SBY menyadari sulitnya menghadapi JK sebagai
wakil presiden, karena JK bukan hanya selalu mau ikut menentukan jalannya
pemerintahan tetapi juga sudah mempunyai serombongan orang-orang yang sudah
dientukan untuk menuduki posisi-posisi tertentu yang tanpa banyak tanya harus
disetujui oleh SBY.
SBY
sadar bahwa cara mengatur sekretariat agar dapat mengendalikan wakil presiden,
bukanlah cara yang efektif untuk mengendalikan JK dan tidak lama kemudian SBY
membangun kantor wakil presiden di dalam komleks istana, pada sisi jalan
Veteran 3. Rencananya setelah kantor itu dapat digunakan, JK akan dipaksa
pindah ke kompleks istana sehingga SBY dapat mengamati siapa saja yang keluar dari
dan masuk ke kantor wakil presiden.
Ternyata
pembangun kantor wakil presiden di kompleks istana tidak mudah, karena harus
mempertimbangkan faktor keamanan. Atas saran para ahli di bidang pengamanan,
dinding yang berada di sisi jalan Veteran 3 harus diberi pelapis baja tahan
peluru. Akibatnya pengerjaan kantor tersebut memerlukan waktu yang lama dan
baru dapat diselesaikan pada tahun terahir masa jabatan SBY sebagai persiden.
Lalu kepindahan JK agar bekerja di kantor yang baru terus ditunda sampai masa
jabatannya berahir.
Pada
masa jabatan kepresidenan yang kedua, SBY tidak menempatkan Boediono di kantor
wakil presiden yang baru yang sudah siap digunakan yang terletak di dalam
kopleks istana, malainkan tetap di kantor wakil presiden yang lama di Jl. Medan
Merdeka Selatan dan ternyata presiden tidak pernah menemui kesulitan menghadapi
wakil presiden. Boediono menjalankan tugasnya sebagai wakil presiden dengan
baik, yaitu membantu tugas presiden, tidak menyodor-nyodorkan apa yang harus
diputuskan oleh presiden dan tidak membawa pasukan yang harus disetujui oleh
presiden dan sudah hampir dapati dipastikan, hingga ahir masa jabatannya, Boediono
akan tetap berkantor di kantor wakil presiden yang lama.
Setelah
Jokowi terpilih menjadi presiden, tidak perlu JK ditempatkan di kantor wakil
presiden yang baru yang sudah lebih dari lima tahun tidak digunakan melainkan dapat
dibiarkan berkantor di kantor wakil presiden yang sekarang. Tentang kesekretariatan
wakil presiden, Jokowi juga tidak perlu mencari bentuk yang baru, cukup
mengikuti bentuk sekeretariat wakil presiden yang pernah digunakan ketika
Megawati menjadi presiden.
Melihat
kebelakang kita harus memaklumi bahwa bangsa Indonesia ternyata masih belajar
benergara, tetapi ke depan roda pemerintahan sudah harus mulai dijalankan
secara profesional dan konstitusional. Jokowi harus memulai membangun tradisi
menempatkan wakil presiden sesuai dengan konstitusi yaitu hanya sebagai ban serep.
Wakil Presiden tidak boleh diberi tugas pemerintahan apa pun selain mengikuti
jalannya pemerintahan agar setiap saat diperlukan dapat menjalankan tugas
presiden. Artinya Wakil Presiden tidak berhak memanggil menteri atau memimpin
rapat bersama menteri dan rapat kabinet harus dipimpin langsung oleh presiden
yang tentu saja juga dihadiri oleh wakil presiden.
Menurut
ketentuan yang ada, jika presiden sedang tidak berada di ibu kota maka tugas
presiden dilaksanakan oleh wakil presiden. Tetapi di jaman kemajuan teknologi
transportasi dan komunikasi sekarang ini, ketentuan tersebut tidak perlu
menyebabkan presiden harus berbagi tanggung jawab dengan wakil presiden. Selama
presiden tidak ada di ibu kota bahkan ketika melakukan lawatan ke luar negari,
tidak perlu diadakan sidang kabinet dan komunikasi antara presiden dengan para
menteri tidak perlu terputus.
Dari
dua calon presiden yang ada, karena Jokowi tidak menjanjikan bagi-bagi
kekuasaan dalam bentuk apapun kepada JK, hanya Jokowi yang dapat menempatkan
wakil presiden agar dapat menjalankan tugasnya sesuai konstitusi yang akan
menjadi tradisi yang baik bagi kamantapan sisitem pemerintahan Indonesia. Maka tidak
perlu ada keraguan sekecil apa pun di dalam diri Anda untuk memilih Jokowi pada
pemilihan presiden 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (9)
Perhatikan berita berikut ini, “Dalam amar putusannya terhadap
Rudi pada 29 April lalu, majelis hakim menyebutkan, Rudi pernah menyerahkan
200.000 dollar AS kepada Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Uang itu
merupakan bagian dari suap yang diberikan oleh Komisaris Kernel Oil Pte Ltd
Simon Gunawan Tanjaya kepada Rudi.”
Kemudian,
pada hari Rabu, 14 Mei 2014 KPK menetapkan Sutan Bhatoegena menjadi tersangka. Penetapan
KPK menjadi sebuah ironi, karena Sutan Bhatoegena adalah anggota DPR dari
Partai Demkorat, Rudi bekerja di bawah pimpinan Jero Wacik, menteri yang juga dari
Partai Demokrat. Korupsi tersebut menyangkut APBN dari pemerintahan SBY yang
juga pendiri Partai Demkorat. Artinya kekuatan Partai Demokrat di DPR tidak dimanfaatkan
untuk mengamankan jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh orang Demokrat tetapi
malah ikut merusak.
Sutan
Bhatoegena kemungkinan akan masuk penjara, tetapi yang kemudian harus menjadi
pertanyaan, apakah kasus serupa akan terulang kembali? Jawabnya, sangat jelas,
pasti akan terulang kembali, selama hubungan kerja antara DPR dan pemerintah
tidak diperbaiki.
Harus
disadari bahwa, kekuasaan DPR terhadap pemerintah sangat besar, bukan hanya
ikut menentukan APBN, tetapi juga mempunyai hak mengawasi jalannya
pemerintahan, bahkan punya kekuasaan yang memungkinan memberhentikan presiden.
Dalam
menjalankan kekuasaannya, DPR mempunyai hak memanggil pejabat pemerintah, bukan
hanya untuk membahas anggaran, tetapi juga hampir dalam setiap masalah yang
dianggap perlu diklarifikasi oleh DPR melalui mekanisme Dengar Pendapat. Di
samping itu ada lagi kewenangan DPR yang berpeluang korupsi yaitu menyelenggarakan
“fit and proper test” untuk jabatan tertentu.
Menggelar
dengar pendapat, bukan hanya menjadi kegemaran anggota DPR tetapi juga menjadi
kepentingan partai politik. Melalui dengar pendapat yang disiarkan secara luas,
Partai Politik berusaha membangun citra dengan harapan pada pemilihan umum
berikutnya mendulang banyak suara. Di dalam dengan pendapat, pajabat yang
diminta klarifikasinya bagai ditempatkan di kursi pesakitan dan hampir tidak
ada anggota DPR yang mau secara terbuka membelanya, bahkan partai politik yang dikuasai
presiden, paling jauh hanya diam.
Jika
Jokowi setelah menjadi presiden dibiarkan seorang diri menghadapi DPR dengan
cara kerja seperti yang sekarang, sudah dapat dipastikan akan mengalami nasib
yang sama dan Jokowi tidak mungkin melakukan pembenahan atas cara kerja DPR.
Tugas pembenahan cara kerja DPR harus dilakukan oleh PDI-Perjuangan dengan
membentuk Fraksi Pendukung Pemerintah yang menguasi 50 % + 1 kursi DPR sehingga
menjadi jelas, anggota fraksi DPR pendukung pemerintah tidak boleh dan tidak
mungkin melakukan tindakan yang merugikan pemerintah dan di dalam setiap rapat
dengar pandapat di DPR, Fraksi Pendukung Pemerintah harus terang-terangan membela
kepentingan pemerintah dengan berbagai argumentasi.
Sikap
membela pemerintah di DPR, jangan dianggap sebagai kerugian pencitraan karena
sudah terbukti bahwa pencitraan di DPR tidak efektif dalam mendulang perolehan
suara pada pemilu. PKS yang di dalam pemberitaan nasional seharusnya sudah
tidak mungkin mendapat suara lagi ternyata masih dapat merebut ...kursi DPR
sedangkan PDI-Perjuangan yang setia selama 10 tahun bersikap oposisi, ternyata
hanya mandapat kurang dari 20 % suara pemilih.
Dengan
persaingan yang semakin ketat di dalam pemilu, peluang mendulang suara ada di Daerah
Pemilihan (Dapil) dengan memunculkan calon yang prestasinya dikenal oleh
pemilihnya. Dengan pengertian ini, Dengar
Pendapat, lebih baik diarahkan untuk mengangkat isu lokal, yaitu persoalan
yang ada di Dapil yang pemecahannya memerlukan kebijakan nasional dan diangkat
oleh anggota DPR dari dapil yang bersangkutan agar diketahui apa yang
dikerjakannya oleh pemilihnya. Masalah pelecehan seksual pada anak, misalnya dapat
digali penyebabnya dengan meminta keterangan dari pejabat atau orang-orang
lokal.
Dengan
mengarahkan sasaran Dengar Pendapat pada isu-isu lokal yang memerlukan
penanganan nasional, kegiatan mengundang pejabat setingkat menteri untuk menghadiri
Dengar Pendapat dapat dikurangi dan dampaknya akan besar pada beban kerja
menteri. Selama itu sudah menjadi rahasia umum, banyak menteri mengeluh,
waktunya habis untuk melayani DPR sehingga pemerintah terpaksa menambah jabatan
Wakil Menteri dan keluhan para menteri bukan hanya karena waktunya habis tetapi
juga tidak sedikit pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota DPR dapat dikatakan
tidak bermutu bahkan memalukan.
Sejalan
dengan upaya menerapkan sistem pemerintahan presidensiil, di mana presiden
bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan, yang harus menghadapi DPR juga
harus diuban, bukan lagi menteri tetapi presiden langsung di dalam dengar
pedapat atau perdebatan yang terbuka. Karena dengar pendapat dengan presiden tidak
mungkin dilakukan sembarang waktu, harus djadwalkan secara berkala, misalnya
setiap 3 bulan dan presiden akan datang didampingi oleh beberapa menteri yang
dibutuhkan.
Selama
ini ada ketakutan, jika presiden menghadapi DPR secara langsung di dalam sebuah
perdebatan terbuka, presiden akan dipermalukan. Hal ini tidak akan terjadi jika
ada Fraksi Pendukung Pemeritah di DPR yang menguasai minimal 50 % +1 kursi DPR
dan di dalam perdebatan itu Fraksi Pendukung Pemerintah harus berjuang membela
kepentingan pemerintah. Sebagai bahan perdebatan dapat dikumpulkan dari isu-isu
yang diangkat di dalam dengar pendapat di DPR selama 3 bulan yang berjalan.
Dengan
menata ulang hubungan pemerintah dengan DPR, pekerjaan yang ditangani oleh DPR
dapat dikembalikan kepada tugas utamanya yaitu membuat UU yang selama ini
sering dinomorduakan sehingga rencana penyelesaian sejumlah RUU hampir selalu
tidak mencapai target.
Penataan
ulang hubungan antara pemerintah dengan DPR yang memungkinkan pemerintah dapat
bekerja lebih efektif melayani kepentingan rakyat, hanya mungkin dilakukan jika
presiden, wakil presiden dan para menteri tidak menjadi pengurus partai dan
dari calon presiden yang ada, hanya Jokowi yang mempunyai peluang itu, karena maju
menjadi calon presiden didukung oleh koalisi partai yang bersifat
non-transaksional.
Jika
Anda menghendaki terjadi perbaikan yang mendasar pada pemerintahan mendatang,
tak ada jalan lain bagi Anda selain memilih Jokowi pada pemilihan presiden pada
9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (8)
Tugas
pertama yang harus diselesaikan oleh Jokowi, setelah terpilih menjadi presiden
dan sebelum memulai memimpin jalannya roda pemerintahan, adalah menyusun
kabinet yang harus didahului dengan menetapkan struktur kabinet yang tidak
harus mengikuti pola yang ada sekarang dan setruktur kabinet itu harus bersifat
presidensiil. Agar struktur kabinet menjadi lebih efektif dan efisien, Jokowi
harus berani melakukan perubahan yang mendasar, karena susunan kabinet yang ada
sekarang adalah warisan tambal sulam sejak kemerdekaan yang isinya sebagian
masih berupa warisan Belanda.
Ketika
Bung Karno mendirikan PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sistem pemerintahan yang dicita-citakannya
sudah jelas yaitu seperti yang berlaku di Amerika Serikat yang dikenal dengan
sistem presidensiil. Alasannya, dari masih muda Bung Karno sudah melihat, jika keberagaman
suku dan agama diberi peluang direpsentasikan dalam bentuk kekuatan politik,
akan menyebabkan Indonesia hancur lebur terkoyak-koyak dalam perang saudara. Tetapi
Hatta yang sekolah di Balanda merasa tidak ada yang salah, keberagama agama dan
suku direpsentasikan dalam bentuk kekuatan politik, contohnya di Belanda,
sistem parlementer dapat diterapkan. Hatta lupa bahwa Belanda dan negara-negara
Eropa, menemukan bentuknya dengan pembagian wilayah seperti sekarang setelah
melalui perang, perang dan perang yang benyak mengorbankan nyawa. Hal seperti
itu yang dari awal tidak diinginkan oleh Bung Karno dan konsekuensinya sistem
parlementer tidak boleh diterapkan di Indonesia.
Kabinet
pertama yang disusun oleh Bung Karno setelah proklamasi kemerdekaan adalah
kabinet presidensiil, terlihat dari ada jabatan Wakil Presiden dan tidak ada jabatan
Perdana Menteri. Kabinet presidensiil itu terpaksa dibubarkan setelah Hatta
melakukan kudeta dengan jalan mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X yang
mengubah sistem presidensiil berdasarkan UUD 45 menjadi sistem parlementer yang
tidak ada dasar konstitusinya. Demi persatuan, Bung Karno mengalah tetapi upaya
selanjutnya untuk mengembalikan ke sistem presidensiil sulitnya luar biasa.
Setelah Hatta mengundurkan diri dari Jabatan Wakil Presiden, Bung Karno
menempuh jalan kompromi, mengangkat Juanda sebagai Menteri Utama, menghindari
jabatan Perdana Menteri, tetapi tidak sepenuhnya berhasil karena sistem
kepartaian sudah terlanjur menjadi banyak dan sulit dibuat menjadi lebih
sederhana.
Pak
Harto pernah berusaha melakukan penyederhanaan partai politik, dengan memaksa
di samping Golkar hanya boleh ada dua partai politik, yang naisonalis dan agama
non-Islam dilebur ke dalam PDI dan yang Islam dilebur ke dalam PPP. Sebenarnya
diharapkan PPP meninggalkan keislamannya
agar menjadi partai non-agama tetapi ketika PPP menyodorkan tanda gambar Kabah,
Pak Harto kesulitan untuk menolak dan terpaksa membiarkannya.
Orang
mengetahui bahwa Pak Harto menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan tidak
dapat dipungkiri bahwa Pak Harto adalah seorang diktator tetapi diktator yang
baik karena yang dilakukannya demi kemajuan bangsa dan negara. Pak Harto tidak
kesulitan menggusur menteri atau pejabat pemerintah yang tidak menjalankan kebijakannya.
Tetapi ketika Menteri Agama mengeluarkan keputusan yang isinya melarang Muslim
memberikan ucapan selamat natal, Pak Harto walaupun di dalam hatinya marah,
tetapi tidak bisa memecat menteri itu lalu membiarkan masalahnya berlalu sambil
berusaha mengurangi dampak negatifnya.
Melihat
jalannya sejarah, tidak boleh ditawar lagi, Jokowi harus memulai membangun
tradisi pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien. Prinsip utama yang
harus dipegang, semua tanggungjawab pemerintahan ada di tangan presiden. Jokowi
harus membagi habis semua tugas pemerintahan kepada para menteri sehingga pertanggung-jawaban
menjadi jelas. Menteri yang bertindak di luar kewenangannya harus ditindak dengan
tegas sehingga Jokowi dapat lepas dari tanggungjawab. Jokowi tidak boleh memberi
tugas pemerintahan sekecil apa pun kepada Wakil Presien karena jika Wakil Pressiden
mengambil langkah yang salah, di luar kewenangan Jokowi untuk memecat Wakil
Presiden dan kesalahan itu dampaknya akan fatal bagi kelangsungan pemerintahan
Jokowi
Pekerjaan
yang harus dijalankan oleh menteri adalah pekerjaan yang bersifat politis atau
kebijakan dan bukan sesuatu yang bersifat pelaksanaan. Tugas Panglima TNI
adalah melaksanakan tugas ketentaraan dan bukan menjalankan politik ketentaraan
karena politik ketentaraan harus menjadi tanggung jawab Menteri Pertahanan.
Tugas Kapolri adalah menjalankan tugas kepolisiann bukan memainkan politik
keamanan yang menjadi wewenang Mendagri. Karena itu sangat tepat menempatkan
Pangima TNI di bawah Menhankan dan menempatkan Kapolri di bawah Mendagri.
Masih
ada pengamat yang mengatakan jabatan Panglima TNI dan Kapolri sebaiknya tetap
langsung di bawah presiden, saran seperti ini pasti didasari asumsi, belum
tentu politik yang dijalankan oleh Menhankam dan atau Mendagri sejalan dengan
politik presiden. Asumsi ini harus dibuang dan tidak berlaku di dalam sistem
presidensiil, Menhankam dan Mendagri harus menjalankan poltik presiden, jika
tidak sangguh, solusinya harus diganti tidak boleh ada alternatif lain.
Membagi
habis tugas pemerintahan, harus diusahakan tidak terjadi tumpang tindih
sehingga memudahkan koordinasi. Jokowi harus berani melakukan perombakan total
dari susunan lembaga yang ada sekarang. Salah satu contoh adalah masalah
perhubungan, tidak boleh lagi kebijakan jalan raya tidak berada di tangan Menteri Perhubungan. Direktorat Jenderal
Bina Marga yang bersifat pelasanaan harus diubah menjadi Badan Pengelola Jalan.
Direktorat Lalu Lintas Polri yang sudah terbukti menjadi lahan korupsi harus dialihkan,
agar berada di bawah kewenangan Badan Pengelola Jalan sehingga semua masalah
yang berkaitan dengan pengelolaan jalan berada di bawas satu kendali. Pembiayaan
Badan Pengelola Jalan harus diusahakan dipenuhi dari penerimaan pajak jalan dan
pungutan lain yang berkaitan dengan jalan. Urusan STNK, BPKB, dan SIM harus
menjadi bagian dari tugas Badan Pengelola Jalan dan untuk membentuk Badan Pengelola
Jalan tidak perlu susah-susah menyelenggarakan seminar yang menghamburkan uang
karena ada jalan yang mudah yaitu meniru saja JPJ ada di Malaysia.
Karena
Jokowi tidak punya kesepakatan bagi-bagi kekuasaan baik dengan partai poltik pendukung maupun dengan calon wakil
presiden, hanya Jokowi yang dapat menerapkan sisttem pemerintahan presidensiil
seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno.
Jika
Anda mengharapkan pemerintahan mendatang dapat bekerja lebih efektif dan
efisien demi kepentingan rakyat, tentunya termasuk kepantingan Anda, tidak ada
alasan lagi bagi Anda untuk tidak memilih Jokowi dalam pemilihan presiden 9
Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (7)
Berbeda
dengan pada masa jabatan 2004-2009, di mana SBY harus menelan pengalaman pahit,
berhadapan dengan Wakil Presiden yang sikapnya sering tidak sejalan dengan kebijakan
presiden, pada masa jabatan 2009-2014, SBY berhasil mengarahkan Wakil Presiden sehingga
dapat menjadi pembantu presiden, tetapi masalah yang dihadapi SBY dalam
mengendalikan jalannya pemerintahan ternyata tidak berkurang peliknya.
Awalnya,
dengan pertimbangan untuk mendapat dukungan yang kuat dari DPR, SBY menggalang
dukungan banyak partai lain sehingga menguasai mayoritas kursi DPR : Demokrat
145, Golkar 103, PKS 57, PAN 45, PKB 27, PPP 37. Jumlah keseluruhan mencapai 414
kursi atau lebih dari 73% dari jumlah seluruh kursi DPR. Agar ada kerjasama
yang baik, koalisi partai-partai tersebut diikat dalam sebuah pernjanjian yang
dilengkapi dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab). Di lain pihak kekuatan
politik yang mengambil sikap oposisi : Hanura 17, Gerindra 25, dan PDI-Perjuangan
93. Jumlah keseluruhan hanya 135 kursi atau sekitar 24 % dari jumlah seluruh kursi
DPR. Berbeda dengan partai koalisi, partai
oposisi berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada ikatan kerjasama di antara mereka.
Jika
Setgab diibaratkan sebuah pagar yang dibangun oleh SBY untuk mengamankan
jalannya pemerintahan, yang kemudian terjadi adalah pagar makan tanaman. Dalam
perjalanannya, partai anggota koalisi, bukan hanya dengan mudah mengganggu jalannya
pemerintahan, seperti yang terjadi pada waktu hendak menaikan harga BBM, tetapi
juga mengambil langkah yang dapat berujung pada jatuhnya pemerintah, yaitu membentuk
Pansus Century yang dimotori bukan hanya oleh partai oposisi tetapi juga oleh partai
anggota koalisi. Di dalam kasus Bank Century yang menjadi sasaran sangat jelas
yaitu Wapres Boedino. Walaupun dari awal para pakar sudah mengatakan bahwa
kebijakan yang diambil oleh Boediono selaku Gubernur BI tidak dapat
dikriminalkan tetapi sejumlah anggota DPR tanpa malu berteriak Boediono harus bertanggung
jawab. Lalu digelar sidang pengadilan dan tanpa malu orang yang dapat
dikelompokkan sebagai tokoh politik malah berani berbohong hanya untuk
menjatuhkan Boediono.
Selama
periode pemerintahan 2009-2014, SBY bukan hanya dibuat pusing oleh partai
anggota koalisi tetapi juga oleh partai yang didirikannya sendiri, yaitu Partai
Demokrat. Maksud SBY menggelar Kongres Partai Demokrat pada tahun 2010 tentu baik,
yaitu memilih ketua umum secara demokratis agar Partai Demokrtat berkembang
menjadi partai yang profesional. Tetapi setelah kekuasaan atas partai dilepas oleh
SBY, malah menyulitkan SBY sendiri, sehingga orang dapat mengatakan “kepala
dilepas masih untung buntutnya dipegang Ibas” sehingga ular tidak lari memakan
tuannya.
Melihat
kesulitan yang harus dihadapi SBY selama 10 tahun terahir, kita harus berani
mengatakan bahwa politik di Indonesia sangat BUAS, tidak beretika dan tidak
bermoral. Di Amerika Serikat sekecil apa pun seorang politisi berbohong lalu terungkap
ke ruang publik, hampir dapat dipastikan karier politiknya berahir. Di
Indonesia, politisi berbohong masih biasa, bahka seorang Bupati yang diturunkan
dari jabatannya dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual masih dapat bangkit kembali
menjadi anggota DPD.
Sehebat
apa pun Jokowi, jika nanti dilepas seorang diri menghadapi buasnya belantika
politik Indonesia, pasti akan menghadapi banyak kesulitan. Di dalam menjalankan
tugasnya sebagai presiden, Jokowi harus waspada, bukan hanya terhadap lawan
politiknya tetapi terlebih terhadap orang dekat yang berada di sekitarnya. Jokowi
harus mengarahkan semua pembantunya, termasuk Wakil Presiden untuk bekerja
secara profesional sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta sesuai dengan
amanat konstitusi dan masyarakat terutama pers, harus dapat membantu Jokowi, dengan
menyoroti serta mengangkat segala penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang
di sekitar Jokowi.
Dalam
menghadapi DPR, Jokowi sebaiknya tidak
berhadapan langsung, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada
PDI-Perjuangan yang harus menggalang kekuatan politik untuk mendukung jalannya
pemerintahan. Koalisi pendukung pemerinah di DPR yang nanti harus dibentuk, tidak
perlu menjadi kalanjutan dari koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden
yang sekarang sedang bekerja karena tugas koalisi partai pendukung pemerintah yang
harus dibentuk sangat berbeda dan harus dibangun di atas dasar yang berbeda.
Setelah
pemilihan presiden, PDI-Perjuangan harus menyatakan bahwa tugas koalisi partai
pendukung Jokowi menjadi presiden selesai. Lalu mulai menggalang kerjasama
parlemen, menyusun kekuatan politik mendukung jalannya pemerintah. Kekuatan
politik tersebut tidak perlu terlalu besar, cukup menguasai 281 kursi DPR dan harus
dibangun di atas dasar program kerja pemerintah untuk 5 tahun mendatang, yaitu
semacam GBHN yang harus disepakati bersama. Tentu tidak dapat dihindari, ketika
mengangkat para menteri, Jokowi harus memperhatikan kekuatan politik di DPR
yang menjadi pendukung pemerintahnya tetapi pengangkatan itu harus diletakkan
di luar kesepakatan kerjasama parlemen dan harus tetap dilakukan secara
profesional.
Agar
suara partai koalisi pendukung pemerintah tidak saling berbenturan, PDI-Perjuangan
harus berusaba membentuk Fraksi Partai Pemerintah di DPR di mana semua anggota
DPR dari partai koalisi bergabung di dalam satu fraksi. Pola kerjasama ini
dapat meniru apa yang dilakukan oleh partai-partai politik di Malaysia yang tergabung
dalam Barisan Nasional.
Koalisi
partai pendukung Jokowi menjadi presiden yang ada sakarang memiliki kekuatan 109+35+47+16
= 207 kursi DPR. Setelah melihat posisi Jokowi di dalam peta pesaingnya, ada
kemungkinan Partai Demokrat akan ikut mendukung Jokowi sehingga kekuatan akan bertambah
sebanyak 61 kursi, menjadi 277. Melihat banyak tokoh Golkar yang sudah mendukung
Jokowi, ada kemungkinan setelah pemilihan presiden, Golkar akan dapat diajak
berkoalisi sehingga ada lagi tambahan 91 kursi sehingga keseluruhan akan berjumlah
368 kursi. Dengan potensi 368 kursi, sedangkan yang dibutuhkan hanya 281 kursi,
PDI-Perjuangan punya cukup ruang untuk menyodorkan koalisi yang bertika dan
bermoral sehingga partai yang komitmennya diragukan dapat tidak diikutsertakan dalam
koalisi, selama jumlah yang berkomitmen sudah mencapai minimal 281 kursi.
Tugas
yang harus dikerjakan oleh PDI-Perjuangan selama 5 tahun ke depan bukanlah
pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan tulus untuk mengamankan
jalannya pemerintahan Jokowi. Bagaimana PDI-Perjuangan dapat menjalankan tugas
tersebut banyak tergantung pada sikap ketua umumnya dan agar tidak terjadi
perubahan arah, ada baiknya jabatan ketua umum PDI-Perjuangan tetap dipegang
oleh Ibu Mega minimal hingga masa jabatan Jokowi berahir.
Bermodalkan
koalisi partai pendukung Jokowi menjadi presiden yang berbasis nontransaksional,
dengan sendirinya hanya PDI-Perjuangan yang dapat mewujudkan koalisi parlemen yang
bermoral dan beretika untuk mendukung jalannya pemerintahan selama 5 tahun
mendatang dan dengan memilih Jokowi, harus disadari bahwa selain mendapat
presiden terbaik, juga mendapat jaminan bahwa PDI-Perjuangan akan mengamankan
jalannya pemerintahan agar dapat bekerja semaksimal mungkin untuk kesejahteraan
rakyat.
Jika
Anda menginginkan bangsa dan negara ini maju, tak ada alasan lagi bagi Anda untuk
tidak memilih Jokowi pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (6)
Nanti,
setelah memenangkan pemilihan presiden, Jokowi tentu harus mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya hingga menjadi presiden dan dengan
mengucapkan terima kasih, Jokowi harus dapat melepaskan diri dari perasaan hutang
budi, karena dukungan yang telah diberikan adalah untuk kepentingan bangsa dan
negara. Demikian juga Jokowi tidak perlu merasa terikat dengan partai politik
koalisi pendukunganya karena ikatan dengan partai politik pendukungnya sudah
disepakati berisfat nontransaksioanal. Tetapi Jokowi tidak mungkin hanya
mengucapkan terima kasih kepada PDI-Perjuangan dan terutama kepada Ibu Mega
atas apa yang sudah dilakukan, karena Jokowi masih membutuhkan PDI-Perjuangan
dan Ibu Mega untuk mengamankan secara politis jalan pemerintahannya agar tidak
menemui banyak hambatan.
Sebagai
orang yang lahir dan dibesarkan di dalam budaya Jawa, Jokowi tentu sangat paham
bagaimana memperlakukan orang yang telah sangat berjasa di dalam hidupnya dan orang
sudah dapat menduga bagaimana sikap Jokowi terhadap Ibu Mega sehingga ada yang
berani berkomentar, “Jokowi akan menjadi presiden boneka, Jokowi boneka
Megawati.”
Walaupun
istilah “Jokowi boneka Megawati” tidak masuk akal, karena apa yang dikerjakan
dan diputuskan oleh presiden akan menjadi perhatian DPR dan dilihat orang
banyak, tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa ada peluang bagi Ibu Mega
untuk memanfaatkan Jokowi bagi keuntungan pribadinya dan ini yang harus dilihat,
seberapa jauh kemungkinan itu dapat terjadi.
Untuk
menilai kualitas hubungan dua insan, tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara
melihat apa yang tampak di permukaan. Dua manusia yang tampak saling menjaga
dan saling membantu, bisa jadi didasari semangat perbudakan, jika yang lebih
berpengaruh memanfaatkan orang yang dipengaruhinya untuk keuntungan pribadinya.
Pepatah mengatakan “Dalamnya lautan dapat diukur tetapi dalamnya hati manusia
tidak ada yang tahu” sehingga bagaimana hubungan antara Jowoki dengan Ibu Mega sesungguhnya
hanya mereka berdua yang mengetahui.
Karena
Jokowi ada di pihak yang berhutang budi, tentu warna hubungannya dengan Ibu
Mega lebih ditentukan oleh sikap Ibu Mega dan karena kita tidak dapat melihat
apa sesungguhnya yang ada di dalam hati Ibu Mega, yang dapat kita lakukan hanyalah
menilai siapa sebenarnya Megawati dengan cara memperhatikan jalan hidup yang
sudah dilaluinya.
Ibu
Mega saat ini adalah seorang janda berusia 67 tahun yang memiliki kekayaan
lebih dari 80 milyar yang sebagian berupa aset produktif. Kekayaan sebanyak itu
lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya sampai ajal menjemputnya, bahkan
masih akan dapat digunakan untuk membiayai hidup anak dan cucunya sampai jangka
waktu yang lama. Tetapi walaupun Ibu Mega menguasai aset produktif, beliau bukan
seorang pengusaha dan dari tingkah lakunya, dapat dilihat, tidak tampak ada
keinginan untuk memperluas usahanya agar menjadi bertambah kaya, sehingga
alasan memanfaatkan Jokowi untuk mendapatkan kekayaan tampaknya dapat
dikesampingkan.
Ibu
Mega mempunyai dua orang anak yang ikut terlibat di dalam kegiatan
PDI-Perjuangan, yaitu Prananda dan Puan Maharani. Adalah wajar seorang Megawari
mendorong anak-anaknya menduduki jabatan tinggi bahkan tertinggi di negeri ini,
mengikuti jejak kakeknya Bung Karno dan sangat wajar jika Jokowi memberikan kursi
menteri kepada Puan dan atau Prananda. Tetapi perlu disadari, di alam politik
Indonesia yang masih miskin persaingan, memajukan anak sendiri bukan hanya
dilakukan oleh Ibu Mega,. SBY juga menempatkan Ibas sebagai Sekjen Partai
Demokrat dan harus diakui bahwa motivasi SBY belum tentu semata-mata berdasar nepotisme
tetapi karena masih sulit mempercayakan posisi yang sangat strategis kepada
orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah, contohnya sangat jelas, Ketua
Umum Partai Demokrat yang dialihkan dari orang di lingkaran keluarganya kepada
Anas Urbaningrum malah berakibat sangat fatal.
Jika
benar Puan Maharani dan atau Prananda menduduki kursi menteri, orang yang sinis
akan mengatakan itulah balas jasa Jokowi kepada Ibu Mega. Tetapi tentu tidak
terlalu benar karena jasa mereka berdua juga tidak sedikit dalam mendukung
Jokowi hingga menduduki kursi presiden. Selanjutnya apakah Puan dan atau
Prananda akan berhasil, tergantung sepenuhnya pada kemampuan mereka masing-masing
yang akan disorot dengan kritis oleh masyarakat yang tidak mungkin lagi dibela
atau didukung oleh ibunya maupun oleh Jokowi.
Pada
acara peletakan batu pertama pembangunan kembali Kantor DPP PDI-Perjuangan di
Jalan Diponegoro, Jakara, Ibu Mega berbicara tentang kasus kerusuhan 27 Juli
1996 dan mengatakan, "Harus
dilanjutkan dengan pengadilan koneksitas, harus digabungkan antara pengadilan
sipil dan militer. Ini harus diusut tuntas." Ini adalah permintaan yang
dengan jelas diungkap secara terbuka oleh Ibu Mega. Permintaan yang harus ditindaklanjuti
oleh Jokowi setelah menduduki kursi presiden, yaitu mengungkap kasus kerusuhan
27 Juli 1966 hingga menjadi jelas.
Selama
ini tidak sedikit orang yang menyesalkan termasuk para kader PDI-Perjuangan,
mengapa pada waktu Ibu Mega menjabat sebagai presiden, tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk
mengungkap kasus 27 Juli 1966. Harus diakui bahwa pada waktu itu situasi memang
belum kondusif, Sutioso yang menjabat selaku Pangdam Jaya pada waktu terjadi
kerusuhan masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, SBY yang menjabat selaku
Kasdam pada waktu terjadi kerusuhan masih menduduki kursi Menko Polhukan, dan
di seluruh Indonesia masih banyak jabatan Gubernur, Walikota, dan Bupati yang
diduduki oleh bekas pejabat militer. Tetapi nanti jika Jokowi menjadi presiden,
tidak ada lagi mantan pejabat militer yang menduduki jabatan publik, dari
Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati sudah seluruhnya berada di tangan
sipil dan semua pejabat militer yang bertugas pada saat terjadi kerusuhan sudah
pensiun, sehingga mereka tidak perlu lagi takut kehilangan jabatan atau
kehilangan masa depan.
Kerusuhan
27 Julai 1996 hanyalah satu dari banyak kerusuhan dan pelanggaran HAM masa lalu
yang harus diuangkap dan jika diurut ke belakang upaya pengungkapan harus
sampai pada pembunuhan terhadap lebih dari 500.000 anggota serta simpatisan PKI
yang hingga saat ini belum jelas duduk perkaranya. Pengungkapan kerusuhan dan pelanggaran
HAM di masa lalu tentu saja bukan hanya menjadi kepentingan Ibu Mega, karena keluarga
orang hilang juga berharap anggota keluarga mereka dapat ditemukan kembali dan
jikapun sudah meninggal mereka berharap dapat mengetahui di mana jasadnya.
Demikian juga keluarga beserta anak cucu bahkan buyut lebih dari 500.000
anggota dan simpatisan PKI yang kehilangan nyawa pada kurun waktu antara tahun 1965-1970
tentu ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.
Ada
baiknya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jerman. Setelah pembantaian besar-besaran
orang-orang Yahudi berhasil dihentikan dengan didudukinya Jerman di bawah
komando Hitler oleh pasukan sekutu, dengan dukungan Mashall Plan bangsa Jerman,
berhasil membangun kembali negeri mereka dan dalam waktu yang singkat dapat tampil
menjadi kekuatan ekonomi dunia. Tetapi orang Jerman merasa malu, berdiri di
hadapan orang asing, takut dicap sebagai bangsa pembunuh. Mencegah hal itu
menjadi beban berkepanjangan, mereka membuka semua kesalahan pemerintahan
Hitler. Mereka yang bersalah dihadapkan ke meja hijau dan kam-kam konsterasi yang
pernah dijadikan tempat penyiksaan dibuka untuk umum sebagai museum lalu sejarah
ditulis berdasarkan fakta yang benar. Dengan cara itu bangsa Jerman terbebas
dari beban sejarah masa lalu.
Hal
yang serupa harus dilakukan oleh bangsa Indonesia dan ini bukan masalah yang
mudah untuk diselesaikan karena kewenangan untuk menyelesaikannya tidak
sepernuhnya ada di tangan presiden. Penyelesaian masalah ini harus dituntaskan
secara menyeluruh, termasuk mencabut TAP MPRS yang salah, salah satunya TAP
MPRS yang memberhentikan Sukarno dari jabatan presiden, bukan hanya karena TAP
itu menghina Sukarno tetapi juga TAP itu menyalahi sejarab. Pada waktu TAP itu
dikeluarkan, Sukarno sudah tidak menjabat presiden karena sudah mengundurkan diri
dan kekuasaan presiden sudah diserahkan kepada Suharto sehingga TAP
pemberhentian itu tidak diperlukan.
Walaunpun
demikian, inisiatif penyelesaian harus diambil oleh pemerintah dan hanya
pemeritahan yang bersih dan kuat yang dapat melakukannya, hanya presiden yang
berani dan yang sama sekali tidak terlibat dalam kerusuhan atau pelanggaran HAM
apa pun yang terjadi di masa lalu yang dapat melakukannya dan ini juga bukan
hanya untuk kepentingan Ibu Mega, tetapi harus menjadi kepentingan
PDI-Perjuangan, bahkan kepentingan semua pihak dan semua orang Indoesia yang
ingin melihat masa depan tanpa harus malu dengan masa lalu.
Pengungkapan
semua kerusuhan dan pelanggaran HAM di masa lalu tentu tidak boleh dilakukan dengan
semangat balas dendam tetapi harus dilakukan dengan semangat menegakkan
kebenaran serta keadilan. Selanjutnya sejarah harus ditulis dengan benar agar
generasi mendatang tidak lagi terbebani oleh masa lalu yang kelam, sehingga dapat
menatap masa depan dengan penuh harapan
dan perlu disadari bahwa semua ini hanya mungkin dan hanya dapat dilakukan jika
Jokowi yang menduduki kursi presiden untuk periode 5 tahun mendatang.
Jika
Anda ingin ikut menikmati kebesaran Indonesia di sisa hidup Anda, tak ada
pilihan lain selain memilih Jokowi untuk menjadi presiden pada tanggal 9 Juli
mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (5)
SBY
adalah contoh yang baik, bagaimana pentingnya partai politik sebagai kendaraan untuk
meraih jabatan presiden. Sebelum mengikuti pemilihan presiden di tahun 2004,
SBY sengaja mendirikan Partai Demokrat. Memang perolehan suara Partai Demokrat waktu
itu tidak terlalu besar, tetapi berhasil mengantar SBY menduduki kursi presiden
periode jabatan 2004-2009. Menyadari
pentingnya kekuatan partai politik, SBY tetap menguasai Partai Demokrat dan
dengan perolehan suara terbesar pada tahun 2009, dengan mudah mengantar SBY
kembali menduduki kursi preisden periode jabatan sampai tahun 2014. Tetapi
menghadapi pemilihan di tahun 2014, Partai Demokrat berantakan sehingga tidak
mampu lagi mengusung calon presiden.
Partai
Golkar yang dijaman orde baru selalu mengantar Pak Harto ke kursi presiden dan
mempunyai basis organisasi yang mapan serta memiliki banyak kader yang poternsial,
sejak reformasi tidak pernah berhasil memenangkan pemilihan presiden, bahkan
sekarang tidak mampu lagi mencalonkan baik presiden maupun wakil presiden.
PKB
yang pernah mengusung Gus Dur menjadi presiden, dirundung beberapa kali
perpecahan dan sekarang tidak mampu lagi mengusung baik calon preiden maupun
wakil presiden.
PDI-Perjuangan
pernah berhasil mengantar Ibu Mega menduduki kursi presiden dan pada masa
jabatannya, Ibu Mega berani memutuskan pemilihan presiden secara langsung. Lalu
berpasangan dengan Ketua Umum PB-NU yang katanya mempunyai anggota mencapai
jumlah 30 juta orang, maju menjadi calon presiden di tahun 2009, tetapi ternyata
gagal.
Masih
menjabat sebagai Ketua Umum PDI-Perjuangan, Ibu Mega berkonsentrasi memajukan
PDI-Perjuangan dan berusaha mendorng kader sendiri menduduki jabatan publik. Jokowi
adalah salah satu kader PDI-Perjuangan yang berhasil dimajukan oleh Ibu Mega
menduduki kursi Walikota Solo dan dilantik pada tanggal 28 Juli 2005. Sementara
untuk jabatan tingkat Gubernur karena kader internal belum memadai, PDI-Perjuangan
mendukung calon Gubernur dari luar, antara lain Gubernur Jawa Tengah dan Bali.
Setelah kader internal menjadi siap, jabatan itu direbut oleh kader
PDI-Perjuangan dan di Jawa Tengah berhasil tetapi di Bali gagal.
Jokowi
lahir pada tanggal 21 Juni 1961 di Solo, menempuh pendidikan hingga lulus SMA
di Solo, lalu melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dan berhasil
lulus menjadi Sarjana Kehutanan pada tahun 1985. Selanjutnya, Jokowi yang
berakar dan berkambang dalam budaya Jawa menjadi pengusaha properti dan furnintur.
Ketika mencalonkan diri menjadi Walikota Solo banyak yang meragukan
kemampuannya tetapi keraguan itu tak lama kemudian ditepis dengan bukti nyata,
banyak hasil kerjanya yang diapresiasi publik sehingga dengan mudah dapat memenangkan
kembali jabatan kedua pada tahun 2010.
Bermodalkan
prestasinya yang gemiliang, Jokowi diarahkan oleh Ibu Mega untuk merebut kursi
Gubernur DKI Jakarta dan berhasil. Jokowi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta
pada 15 Oktober 2012 dan dalam waktu yang relatif singkat, berkat gaya
kemimpinannya yang senang blusukan disertai keberaniannya malakukan beberapa penertiban,
antara lain mengembalikan fungsi Waduk Pluit, hasil kerjanya menjadi buah bibir
masyarakat dan karena keberhasilannya itu Jokowi lalu diberi tugas oleh
PDI-Perjuangan untuk maju menjadi calon presiden pada pemilihan presiden
tanggal 9 Juli mendatang..
Jokowi
bukan satu-satunya Walikota atau Bupati yang berasal dari PDI-Perjuangan tetapi
keberhasilan Jokowi menjalankan tugasnya sangat menonjol dan diakui masyarakat.
Demikian juga Jokowi bukan satu-satunya Gubernur dari PDI-Perjuangan tetapi di
antara gubernur yang berasal dari PDI-Perjuangan, Jokowi adalah gubernur yang prestasinya
jadi pembicaraan masyarakat. Ketika harus memilih siapa dari kader PDI-Perjuangan
yang pantas dan berhak dimajukan utnuk menduduki jabatan presiden,
PDI-Perjuangan tidak perlu menyelenggarakan konvensi yang bersifat pertunjukan,
tetapi cukup mengandalkan bukti prestasi untuk menugaskan Jokowi maju menjadi
calon presiden.
Berbeda
dengan SBY, Ibu Mega, dan Gus Dur yang berhasil menduduki jabatan presiden
bermodalkan kekuasaan atas partai, Jokowi menjadi calon presiden tanpa kekuasaan
apa-apa atas PDI-Perjuangan karena yang berkuasa atas PDI-Perjaugan tetap Ibu
Mega sehingga jika Jokowi berhasil menduduki kursi presiden, akan menjadi
catatan sejarah, sebagai orang pertama, setelah reformasi, yang bukan penguasa
partai tetapi berhasil menduduki kursi presiden. Di samping Jokowi, tentu PDI-Perjuangan
juga akan dicatat oleh sejarah, sebagai partai yang berhasil medudukan kadernya
yang bukan pengurus partai untuk menduduki kursi presiden.
Keberhasilan
PDI-Perjuangan mendidik kader sendiri melalui kerja nyata di berbagai jenjang pemerintahan
hingga berhasil menduduki jabatan tertinggi di negeri ini akan menujukkan bahwa
PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega menjadi partai andalan bangsa dan
akan menjadi model bagaimana seharusnya partai bekerja untuk rakyat.
Setelah
menduduki kursi presiden, Jokowi tidak perlu menjadi pengurus partai, tetapi cukup
mengandalkan dukungan PDI-Perjuangan yang harus terus mengembangkan budaya
kerja yang baik, yaitu berperan di dalam parleman agar pemerintahan Jokowi
dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Ada baiknya Ibu Mega tetap memegang
jabatan Ketua Umum PDI-Perjuangan minimal sampai Jokowi menyelesaikan masa
tugas pertamanya sebagai presiden hingga tahun 2019, agar budaya kerja partai
yang dapat berbagi tugas dengan presiden dapat dimantapkan .
Tanpa
menjadi pengurus partai, Jokowi dapat bersikap tegas dalam mengangkat para
menteri yang akan membantunya menjalankan tugas pemerintahan, yaitu tidak boleh
merangkap jabatan partai dan dengan tidak boleh merangkap jabatan partai,
loyalitas para menteri dapat dituntut hanya untuk negara sehingga ukuran
keberhasilannya menjadi jelas.
Dilihat
dari tahun 2005 hingga sekarang, Jokowi telah menjadi ujung tombak perubahan
yang digerakkan oleh PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega, yang
diharapkan akan membawa Indonesia menjadi bangsa dan negara yang hebat dalam
waktu yang singkat. Sebagai ujung tombak perubahan, Jokowi dan PDI-Perjuangan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan harus dilihat sebagai satu kekuatan
perubahan, yang diharapkan akan memajukan peradaban bangsa yang berdiri di atas
akar budaya aslinya dan meluruskan jalannya sejarah agar berpangkal pada fondasi
yang sudah diletakkan oleh Bung Karno.
Jika
Anda mengharapkan pemerintahan 5 tahun mendatang bekerja untuk rakyat dan dapat
membawa Indonesia menjadi lebih baik, pilihlah Jokowi pada pemilihan presiden 9
Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (4)
Masih
pada hari pemilihan anggota legislatif, Jokowi yang mendapat tugas dari partai
PDI-Perjuangan untuk menjadi Calon Presiden (Capres) pada pemilu presiden 9
Juli 2014, sudah menjelaskan kepada wartawan, “Akan merangkul banyak partai
dengan catatan tidak ada hitung-hitungan kursi menteri dan sebagainya. Usul
menteri bisa saja, tapi sekali lagi bukan bagi-bagi kursi."
Pada
hari yang sama, pernyataan Jokowi langsung ditertawakan oleh Ketua Dewan Pers
Indonesia, Bagir Manan yang mengatakan, "Koalisi tanpa adanya
tawar-menawar itu tidak mungkin, karena kalau kita ingin mengajak partainya
berarti kita tentu ada `bargaining` partai itu. Oke saya dukung asal dapat
menteri-menteri itu atau dukung program-program ini."
Hari
ketiga setelah pemungutan suara, dengan bermodalkan hasil Quick Count yang
menunjukkan bahwa PDI-Perjuangan menjadi pemenang pemilu legislatif dengan
perolehan suara tidak mencapai 20 %, Jokowi sudah bergerak menjajaki koalisi.
Partai
yang pertama didatangi adalah Nasdem di bawah pimpinan Surya Paloh. Sebelum
Jokowi datang pada pukul11, tanggal 12 April, Surya Paloh yang mengenakan
kemeja lengan panjang sudah menunggu di kantor DPP Nasdem, Jl. RP. Soeroso,
Menteng dan Sekjen PDI-Perjuangan, Tjahjo Kumolo juga sudah berada di kantor
DPP Nasdem.
Sehari
sebelumnya, Surya Paloh bertemu dengan Jusuf Kalla yang datang ke kantor DPP
Nasdem dan setelah pertemuan, Surya Paloh mengatakan akan mengusulkan Jusuf
Kalla menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres). Ketika bertemu dengan Jokowi,
nama Jusuf Kalla dimunculkan sebagai Cawapres untuk mendampingi Jokowi. Usulam
itu hanya didengar oleh Jokowi tanpa memberikan janji apa-apa. Walaupun
demikian, selesai pertemuan, Surya Paloh di depan wartawan mengatakan, Nasdem mendukung
Jokowi sepenuhnya dan siap berkoalisi dengan PDI-Perjuangan.
Siang
hari, Jokowi menemui Ketua Umum Partai Golkar di Kantor DPP Golkar dan diterima
oleh Aburizal Bakrie yang mengenakan kaos olah raga, didampingi beberapa
pengurus Golkar. Setelah pertemuan, Jokowi menjelaskan kepada wartawan, Golkar
akan maju dengan Capres sendiri.
Malam
hari, Jokowi mendatangi DPP PKB dan diterima oleh Muhaimin Iskandar yang
mengenakan kemeja batik dan menyediakan makan malam. PKB menyodorkan nama Mahfud
MD atau Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres. Setelah pertemuan Muhaimin Iskandar
menjelaskan kepada wartawan, belum ada kesepakatan dan minta siapa yang akan menjadi
Cawapres dibicarakan bersama.
Minggu
tanggal 13 April 2014, Jokowi sekali lagi menegaskan syarat koalisi yang
disodorkan. Pada kesempatan meninjau Waduk Pluit, Jokowi mengatakan kepada wartawan,
“Kami terbuka pada semua partai, silakan bergabung. Kami mau cari kawan
sebanyak-banyaknya. Dengan catatan tidak bagi-bagi kursi menteri. Kita fokus
selesaikan masalah bangsa dan negara.”
Tanggal
23 April 2014 di dalam sebuah diskusi, Sekjen Nasdem, Patrice Rio Capella
menegaskan bahwa koalisi Nasdem dengan PDI-Perjuangan bukanlah koalisi
basa-basi, sembunyi, atau pura-pura. Nasdem mendukung penuh koalisi kedua
partai dan bersikap tegas sejak awal. Dalam koalisi tak ada deal atau syarat
Nasdem meminta jadi Cawapres.
Dengan
adanya pernyataan tersebut, tugas partai yang diemban oleh Jokowi, yaitu
membentuk koalisi nontransaksional sudah berhasil dilaksanakan. Tanpa kesepakatan
bagi-bagi kekuasaan dan tanpa kesepakatan siapa yang akan menjadi Cawapres, Nasdem
sudah bersedia berkoalisi dengan PDI-Perjuangan sehingga berhak mendaftarkan
Capres/Cawapres ke KPU karena perolehan suara PDI-Perjuangan digabung dengan
Nasdem sudah melebihi 25 % suara pemilih, melewati syarat yang ditetapkan oleh KPU.
Selanjutnya,
pemantapan koalisi nontransaksional dilakukan oleh PDI-Perjuangan di bawah
komando Ibu Mega. PDI-Perjuangan lalu mengeluarkan pernyataan akan membangun
koalisi kurus yang memberi pesan bahwa PDI-Perjuangan akan mengusung Jokowi
menjadi calon presiden tanpa perlu melibatkan PKB. Bahkan pada tanggal 6 Mei
PDI-Perjuangan menyatakan mencoret Mahfud MD dari daftar calon wakil presiden. Akibatnya,
PKB menjadi sibuk sendiri, berusaha melakukan konsolidasi internal yang
berujung pada penyelenggaraan Munas yang mengelurkan Surat Keputusan sepihak,
menjadikan Jokowi Capres PKB, pada tanggal 10 Mei. Tetapi di depan wartawan Muhaimin
Iskandar masih mengatakan minta diajak menentukan Cawapres.
Lalu
ada perundingan antara Ibu Mega dengan Ketua Umum Golkar tetapi tidak
membuahkan hasil. Karena waktu pendaftaran ke KPU sudah akan dimulai, PDI-Perjuangan
harus memutuskan siapa yang akan dinobatkan menjadi Cawapres dan sebelum
keputusan diambil, Ibu Mega berhasil mengajak Hanura untuk bergabung.
Pada
saat deklarasi dukungan mitra koalisi, Surya Paloh mengatakan terharu menjadi
partai pertama yang didatangi oleh PDI-Perjuangan untuk diajak berkoalisi, menyadari
bahwa Nasdem adalah partai baru yang perolehan suaranya juga tidak besar. Terlihat,
PDI-Perjuangan sangat jeli menjadikan Nasdem target pertama mengajak koalisi
nontransaksional dan berhasil. Lalu dengan bermodalkan dukungan Nasdem,
PDI-Perjuangan berhasil menggiring PKB untuk ikut koalisi nontransaksional dan
kemudian Hanura dilibatkan untuk berjaga-jaga, dengan perhitungan, kursi DPR-RI
dari PDI-Perjuangan digabung dengan Hannura lebih dari 20 % jumlah kursi DPR-RI
sehingga berhak mencalonkan presiden tanpa melibatkan partai lain.
Dengan
kerja keras yang cermat, PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Ibu Mega berhasil
membangun koalisi nontransaksional mendukung Jokowi menjadi Capres dan ini
adalah keberhasilan yang bersejarah. Walaupun perolehan suara PDI-Perjuangan di
bawah 20 % tetapi mampu membangun koalisi nontrasaksional yang akan menjadi
dasar tebentuknya pemerintahan presidensiil, seperti yang dicita-citakan oleh Bung
Karno. Kedepan kita berharap PDI-Perjuangan dapat memperoleh suara lebih besar yaitu
di atas 50 % sehingga sistem pemerintahan presidensiil dapat berjalan tanpa
koalisi.
Setelah
memenangkan pemilihan presiden, Jokowi tentu harus mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah mendukungnya tetapi tanpa harus berbagi kekuasaan
dengan partai politik mitra koalisi PDI-Perjuangan, karena jasa mereka belum
tentu lebih besar dari relawan non partai, sebut saja, apa yang diberikan oleh Ibu
Mooryati Soedibyo belum tentu lebih kecil dari kontribusi partai koalisi mitra
koalisi PDI-Perjuangan.
Pada
waktu menyusun kabinet, adalah saatnya Jokowi mempertimbangkan kekuatan koalisi
partai politik di DPR yang akan mendukung jalan pemerintahannya, yang akan
digalang oleh PDI-Perjuangan dengan format yang berbeda yang tidak harus sama dengan
koalisi partai politik pendukung pemilihan presiden. Orang-orang yang sudah
bekerja keras mendukung Jokowi hingga menjadi presiden tentu saja dapat
dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam pemerintahan selama kemampuannya
memadai, tetapi bukan kewajiban Jokowi untuk membalas jasa mereka.
PDI-Perjuangan
dibawah kepemimpinan Ibu Mega sudah menyiapkan jalan bagi lahirnya pemerintahan
presidensiil yang dapat menjalankan tugasnya tanpa ikatan bagi-bagi kekuasaan
dan selanjutnya giliran Anda memilih Jokowi pada tanggal 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah Jokowi – JK (3)
Bermula dari ucapan Ibu Megawati, Ketua Umum PDI-Perjuangan, pada hari
Rabu tanggal 14 Mei 2014, di Kantor DPP PDI-Perjuangan, Lenteng Agung, yang
mengatakan, "Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah
petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," bermunculan komentar di
jejaring sosial, bahkan tidak sedikit berupa ejekan terutama dari pihak lawan
yang mengatakan, “Jokowi hanya petugas partai,” sehingga beberapa pendukung
Jokowi menyatakan, “Tidak akan memilih Jokowi karena ternyata hanya petugas
dari Ibu Mega.”
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pesan Ibu Mega dan tidak ada
yang salah pada status Jokowi sebagai “petugas partai” karena kata “petugas”
mengandung arti orang yang menjalankan
tugas dan dalam kaitan ini, Jokowi menjalankan tugas partai untuk menjadi Calon
Presiden RI.
Bandingkan dengan Ibu Sri
Mulyani yang menjalankan tugas negara menduduki Jabatan Direktur Pelaksana Bank
Dunia. Tentu saja Sri Mulyani yang mendapat tugas negara, harus menjaga
kepentingan Indonesia dalam menjalankan tugasnya, selama apa yang dilakukan
tidak bertentangan dengan atau merugikan kepentingan Bank Dunia, paling tidak,
Sri Mulyani harus berusaha menjalankan tugasnya dengan baik, agar prestasinya
dapat mengharumkan nama bangsa.
Tidak berbeda dengan apa yang harus dijalankan oleh Jokowi, PDI-Perjuangan
memberinya tugas untuk menjadi calon presiden dan tentu dengan harapan dapat
memenangakan pemilihan presiden sehingga, Presiden RI mendatang dapat
dibanggakan sebagai orang PDI-Perjuangan.
Selanjutnya, sebagai petugas partai, Jokowi harus berusaha menjadi
presiden yang berprestasi sehingga prestasinya dapat mengharumkan nama
PDI-Perjuangan. Dampak dari keberhasilan Jokowi akan menaikkan perolehan suara
PDI-Perjuangan pada pemilu 2019 dan tentu akan berakibat lanjutan, Jokowi dapat
dipilh kembali untuk periode jabatan kedua. Jika prestasi Jokowi dapat terus dijaga,
boleh diharapkan presiden setelah Jokowi juga akan berasal dari PDI-Perjuangan.
Selama yang diharapkan oleh PDI-Perjuangan dan Ibu Mega adalah Jokowi
menjadi presiden Indonesia yang berprestasi, tidak ada yang salah dengan pernyataan
Ibu Mega “Jokowi petugas partai” dan baru akan menjadi masalah jika Ibu Mega
dan atau PDI-Perjuangan memanfaatkan kedudukan Jokowi sebagai presiden untuk
sesuatu yang diharamkan oleh UU dan atau diharamkan oleh etika berpolitik dan
berpartai.
Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada Ketua Partai yang memanfaatkan
kedudukan kadernya di pemerintahan untuk melakukan korupsi dan celakanya korupsinya
tertangkap KPK sehingga yang bersangkutan masuk penjara. Kita juga tidak dapat
menyangkal bahwa ada partai politik yang memanfaatkan kadernya yang memegang
kekuasan untuk mengeluarlan aturan atau menjalankan program yang menguntungkan
posisi partainya di dalam pemilu. Untuk menilai apakah kemungkinan seperti itu
akan terjadi pada hubungan antara PDI-Perjuangan dengan Jokowi dan atau antara
Ibu Mega dengan Jokowi, setelah Jokowi menjadi Presiden RI, kita harus melihat
rekam jejak Ibu Muga, PDI-Perjuangan dan Jokowi.
Setelah Jokowi menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta,
berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), digulirkan program relokasi
warga waduk Pluit, penertiban pedagang kaki lama, sterilisasi busway dan
beberapa program lainnya. Lalu muncul masalah antara Ahok dengan Gerindra,
partai yang dikomandani oleh Prabowo yang mengusung Ahok menjadi Wakil Gubernur
DKI. S aya kutipkan berita masalah tersebut untuk Anda.
“Hubungan
mesra Ahok dan Partai Gerindra kini terancam retak, sepertinya ada yang berubah
diantara mereka. Hal ini dikarenakan kebijakan yang diambil Jokowi-Ahok dinilai
tidak populis dan bisa berimbas pada menurunnya jumlah pemilih Gerindra
dari masyarakat kecil. Beredar berita bahwa Partai Gerindra tidak senang dengan
relokasi warga waduk Pluit, penggusuran pedagang kaki lima, sterilisasi busway,
dan beberapa program Ahok dinilai tidak pro rakyat.”
Kemudian
ada berita Ahok akan dipecat dari Gerindra. Setelah mendapat keterangan dari
Ahok wartawan menulis, “Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
mengungkapkan rasa kecewanya pada partai yang telah mengantarkan dirinya menuju
kursi kedua, mewakili Jokowi untuk memimpin ibu kota. Ahok secara terang-terangan
membongkar kemarahan Partai Gerindra padanya, menyangkut soal kebijakan PKL (pedakang
kaki lima). Ia tidak menggubris partainya yang marah padanya bahkan Ahok siap
untuk di “pecat” jika Gerindra terus-menerus mendikte dan mengintervensi tentang
kebijakan yang di pimpinnya.”
Harus
diakui bahwa Ahok adalah pemimpin yang berani tetapi sikap Ahok kepada
partainya pasti juga dipengaruhi oleh hubungan antara Jokowi dengan
PDI-Perjuangan. Ahok melihat bahwa PDI-Perjuangan dan atau Ibu Mega tidak
pernah mencampuri apa yang dilakukan oleh Jokowi untuk Jakarta.
Jika
kita bandingkan partai besar yang ada sekarang, kita dapat mengatakan bahwa
PDI-Perjuangan dibawah kepemimpinan Ibu Mega adalah partai yang mempunyai
budaya kerja yang paling baik. Sebelum diputuskan, siapa yang akan menjadi calon
wakil presiden mendampingi Jokowi, beredar isu bahwa yang akan dipilih adalah
Puan Maharani. Lalu, termaskan oleh isu tersebut, Ketua DPC PDI-Perjuangan Solo
mengeluarkan pernyataan agar PDI-Perjuangan tidak memilih Mbak Puan, Belakangan
Ketua DPC itu menguncurkan diri dan diisukan sebagai buntut dari pernyataannya.
Tidak lama kemudian rencana pengunduran itu, dibatalkan karena semua DPAC di
Solo mengancam akan bersama-sama mengundurkan diri. Kemudian terbukti yang
dipilih untuk mendampingi Jokowi bukan Mbak Puan melainkan JK. Lalu kegiatan
organisasi di dalam tubuh PDI-Perjuangan kembali berjalan seperti biasa.
Orang
yang melihat PDI-Perjuangan dengan kaca mata sinis mungkin masih akan
mengatakan, “Ya, karena perolehan suara PDI-Perjuangan di bawah 20 %, jika
perolehan suara lebih banyak, pasti Megawati akan mendorong anaknya sendiri
untuk mendampingi Jokowi.” Kita tidak dapat berandai-andai dengan apa yang
tidak terjadi, tetapi jika kita mau melihat dengan jujur bagaimana Ibu Mega
memilih JK, kita akan tahu bahwa dasar yang digunakan bukan masalah suka –
tidak suka, bukan masalah kedekatatan – kejauhan, tetapi semata-mata
perhitungan yang cermat agar pemerintahan mendatang di bawah kepemipinan Jokowi
dapat berjalan dengan baik, dengan harapan dapat membawa Indonesia menjadi
Hebat.
Untuk
melengkapi, mari kita ambil contoh lain yang dapat menggambarkan bagaimana Ibu
Mega menyelesaikan persoalan di dalam tubuh PDI-Perjuangan. Kita lihat perseteruan
antara Wali Kota Surabaya dan Wakilnya yang sama-sama dari PDI-Perjuangan.
Perseteruan itu sudah terbuka dan diberitakan secara luas oleh media. Untuk mengatasinya,
Ibu Mega mengajak Jokowi ke Surabaya. Lalu, Walikota dan Wakil-Walikota itu kembali
menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat.
Sekali
lagi, tidak ada yang salah dengan kata-kata Ibu Mega kepada Jokowi, “Anda
adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," karena Jokowi
ditugaskan oleh Ibu Mega dan oleh PDI-Perjuangan untuk menjadi Presiden RI yang
berprestasi.
Lebih
lanjut, kita berharap Jokowi bukan hanya akan menjadi Presiden RI yang berprestasi
tetapi Jokowi juga akan terus berperan membesarkan dan mendorong agar
PDI-Perjuangan menjadi partai yang terbaik, karena Indonesia bukan hanya
membutuhkan presiden yang baik tetapi juga membutuhkan adanya partai yang baik.
“Jokowi
petugas partai” bukan alasan untuk tidak memilih Jokowi malah sebaliknya
menjadi alasan yang kuat untuk memilih Jokowi pada tanggal 9 Juli mendatang.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (2)
Ketika
JK sebagai pasangan Jokowi masih sebatas dugaan, sudah ada beberapa pengamat
yang meramalkan bahwa Jokowi akan mengalami kesulitan menghadapi JK, karena JK lebih
senior dan lebih berpengalaman, malah ada yang mengatakan akan ada matahari
kembar. Pendapat seperti itu bukan tanpa alasan, karena pada waktu JK menjabat
sebagai Wakil Presiden mendampingi SBY, masyarakat melihat sikap dan langkah JK
yang tidak mudah mau sejalan dengan SBY.
Masalah
adu kuat atau adu pengaruh antara Presiden dengan Wakil Presiden di republik
yang belum mencapai usia 70 tahun ini, sudah dimulai tidak lama setelah
republik ini diproklamasikan. Waktu itu, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X yang mengubah sistem pemerintahan
dari Presidensiil berdasar UUD 45 menjadi Parlementer yang tidak ada dasar
hukumnya, tanpa konsultasi dan sepengetahuan Sukarno.
Setelah
Hatta mengundurkan diri, Bung Karno sengaja tidak mengisi jabatan Wakil
Presiden dan selama Pak Harto berkuasa, tidak pernah ada masalah dengan Wakil
Presiden karena kekuasaan mutlak ada di tangan Pak Harto. Hubungan tidak
harmonis antara Presiden dan Wakil Presiden juga terjadi pada masa Gus Dur
berkuasa, tetapi setelah Ibu Mega memegang kekuasaan, Wakil Presiden dapat
ditempatkan pada tugasnya sesuai konstitusi.
Menghadapi
pemilu di tahun 2004, SBY membentuk Partai Demokrat, tetapi hasilnya tidak
menguntungkan, Demokrat hanya mendapat 55 kursi, sementara Golkar 128,
PDI-Perjuangan 109, PPP 58, PAN 53, PKB 52 dan PKS 45. Ketika mencalonkan diri
sebagai Presiden, SBY menggandeng JK untuk mengisi jabatan Wakil Presiden, didukung
Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan PKS dan pada putaran kedua koalisi
diperluas dengan mengajak PPP, PAN, dan PKB.
Sebelum
SBY dan JK sepakat berpasangan sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden,
di antara mereka sudah ada kesepakatan untuk berbagi kekuasaan. Artinya JK
sudah mendapat kepastian bahwa sebagai Wakil Presiden tugasnya bukan sebagai
ban serep tetapi bersama presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Di
dalam politik adu kuat kekuasaan diukur dari jumlah kursi di DPR. SBY melalui
Partai Demokrat menguasai 55 kursi dan JK setelah berhasil merebut jabatan Ketua
Umum Partai Golkar berhak mengatur 128 suara di DPR Artinya secara politik, JK
lebih berkuasa dibandingkan dengan SBY.
Mengawali
jalannya pemerintahan, SBY dan JK bersama-sama menyusun kabintet dan mulai saat
itu kesulitan sudah muncul, keputusan susunan kabinet tidak barada di tangan
Presiden tetapi harus juga disetujui oleh Wakil Presiden sehingga ketegangan
hubungan antara SBY dan JK sempat mencuat ke permukaan, pembahasan susunan
kabinet menjadi alot dan setelah terjadi kompromi, seolah-olah ada menteri yang
menjadi bawahan SBY dan ada menteri yang
menjadi bawahan JK.
Dimulai
dari hubungan kerja yang salah, selanjutnya selama 5 tahun pemerintahan SBY -JK
diisi dengan persaingan dan perebutan kekuasaan antara Presiden dan Wakil
Presiden. JK bahkan pernah menginginkan mengeluarkan Keputusan Wakil Presiden
tetapi hal itu tidak jadi dilakukan karena tidak dimungkinkan oleh konstitusi.
Hari
ini Jokowi dan JK akan menjalani tes kesehatan, artinya sudah dapat dipastikan
mereka berdua akan maju menjadi salah satu pasangan calon yang akan dipilih oleh
rakyat untuk meminpim pemerintahan selama 5 tahun ke depan dan sebelum kita menjatuhkan
pilihan, ada baiknya dikaji terlebih dahulu apakah JK akan menjalankan peran
yang sama seperti pada waktu menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi SBY?
Jika kejadian itu akan berulang, kita harus berani mengatakan lebih baik jangan
memilih Jokowi – JK, tetapi mari kita lihat apa yang akan terjadi.
Proses
penentukan calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Jokowi, dilakukan oleh
PDI-Perjuangan di bawah pimpinan Ibu Mega tanpa melalui tawar menawar melainkan
dengan mekanisme seleksi pengkajian dan pengamatan layaknya perusahaan mencari
pekerja terbaik. Setelah dilakukan konsultasi dengan partai anggota koalisi, Ibu
Mega bersama Jokowi memutuskan calon Wakil Presiden secara sepihak tanpa
melibatkan JK dan JK yang menerima keputusan itu harus menyadari, telah dipilih
untuk menjadi pembantu Jokowi sehingga apa yang akan dilakukan oleh JK sebagai
Wakil Presiden sepenuhnya akan diatur oleh Jokowi yang harus berpedoman pada
konstitusi.
Konstitusi
sendiri tidak mengatur pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden
dan memang tidak boleh ada pembagian kekuasaan, karena yang harus
bertanggungjawab adalah Presiden dan tanggung jawab itu tidak boleh dibagi
dengan Wakil Presiden. Tugas Wakil Presiden menurut konstitusi tidak lebih dan
tidak kurang sebagai ban serep yang hanya boleh menjalankan kekuasaan Presiden hanya
pada saat Presiden berhalangan.
Tentu
saja untuk meringankan pekerjaannya, Jokowi dapat meminta JK untuk menangani
masalah tertentu tetapi Jokowi juga dapat membagi habis semua tugasnya kepada
para menteri sehingga tidak perlu memberi tugas apa pun kepada Wakil Presiden seperti
yang pernah dialami oleh Prijanto ketika menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI
Jakarta mendampingi Fauzi Bowo.
Sebagai
negara yang masih berkembang, ada baiknya Indonesia mulai membangun tradisi, hubungan
kerja yang baik antara Presiden dan
Wakil Presiden dan sebagai perbandingan dapat dilihat sistem
pemerintahan di Amerika Serikat di mana semua tanggung jawab sepenuhnya ada di
tangan Presiden sehingga kedudukan Wakil Presiden murni hanya sebagai ban
serep.
Di
usianya yang sudah melewati 72 tahun, sudah selayaknya dan kita semua berharap
JK akan memberi teladan yang baik bagaimana menjalankan tugasnya 5 tahun ke
depan sebagai Wakil Presiden sesuai dengan konstitusi sehingga dapat dijadikan
contoh dan pegangan bagi generasi selanjutnya. Tentu saja, menjadi ban serep
bukan berarti menganggur, karena ban serep harus selalu dibawa dan harus selalu
siap digunakan, artinya menjadi Wakil Presiden harus selalu mengikuti jalannya
pemerintahan dengan cermat dan siap bertugas pada saat diperlukan, yaitu ketika
Presiden berhalangan.
Walaupun
yang akan dipilih adalah pasangan Jokowi – JK tetapi sesungguhnya yang dipilih oleh
rakyat adalah Jokowi karena sesuai konstitusi, Jokowi yang akan memimpin dan
mengendalikan jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan.
PDI-Perjuangan
dibawah kepemimpinan Ibu Mega bersama Jokowi sudah bekerja keras meletakkan
dasar yang baik hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai
dengan konstitusi sehingga setelah menduduki jabatan Presiden RI, Jokowi dapat
menjalankan tugasnya dengan baik tanpa perlu ada masalah dengan Wakil Presiden.
Selanjutkan adalah tugas kita, Anda dan saya untuk memilih Jokowi sebagai
Presiden RI ke-7 agar Indonesia dapat segera menjadi bangsa dan negara yang
Hebat.
Merdeka
!!!!!
***
Pilihlah
Jokowi – JK (1)
Setelah
diputuskan bahwa Joko Widodo (Jokowi) akan berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK)
dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden RI periode 2014-2019 tidak sedikit yang
sebelumnya sudah menjadi pendukung Jokowi malah kecewa, bahkan Sabam Sirait,
politisi senior PDI-Perjuangan mengancam akan mengundurkan diri.
Mereka
yang kecewa antara lain menuduh bahwa Jokowi tidak konsisten dengan ucapan sebelumnya
yang pernah menyatakan akan memiih pasangan dari generasi yang lebih muda. Kenyataannya
malah memilih JK yang jauh lebih senior bukan hanya dari segi usia tetapi juga
dari segi pengalaman karena JK sudah pernah menduduki kursi Wakil Presiden RI,
yaitu jabatan tertinggi di negeri ini setelah Presiden.
Bahwa
Jokowi secara jujur ingin memilih pasangan dari generasi yang lebih muda, tidak
perlu kita ragukan dan kita percaya bahwa keinginan itu memang keluar dari lubuk
hati yang paling dalam. Tetapi untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, Jokowi
tidak mungkin hanya bermodalkan keinginan sendiri melainkan harus juga
memperhatikan situasi yang akan dihadapai setelah terpilih menjadi Presiden RI
ke-7 agar tugasnya sebagai Presiden dapat dijalankan dengan baik.
Jokowi
bukan anak kemarin sore dan sudah merasakan sendiri sulitnya menjalankan tugas
mensejahterakan rakyat, karena harus menghadapi kepentingan orang dan golongan
yang tidak jarang malah berusaha sebaliknya. Jokowi pasti ingat ketika APBD
yang diusulkan untuk membeli truk sampah ditolak oleh DPRD-DKI. Jokowi bersama
Ahok tidak berkutik, karena anggota DPRD dari PDI-Perjuangan digabung dengan
dari GERINDRA yang mendukung Jokowi-Ahok tidak mencapai 50 % lebih dari 1 dari seluruh
kursi DPRD-DKI, sehingga dengan mudah keinginan luhur Jokowi-Ahok
mensejahterakan rakyat Jakarta dijegal oleh pihak lawan.
Karena
kekuasaan DPRD terbatas, Jokowi-Ahok masih dapat berakrobat sehingga
pekerjaannya mensejahtrakan rakyat Jakarta masih dapat dilanjutkan. Tetapi, jika
nanti Jokowi menjadi Presiden RI yang harus dihadapi adalah DPR-RI yang memiliki
kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan DPRD yang bukan hanya dapat
menjegal program kerja Presiden tetapi juga dapat membuat Presiden tidak dapat
menjalankan tugasnya.
Pada
pemilu legislatif, PDI-Perjuangan hanya memperoleh 18,95 % suara pemilih dan
mendapat 109 kursi DPR-RI. Artinya tidak cukupi untuk mencalonkan
Presiden/Wakil Presiden yang mensyaratkan 25 % mendapat suara pemilih atau 20 %
menduduki kursi DPR-RI, yaitu 112 kursi.
Karena itu PDI-Perjuangan harus mengajak partai lain untuk berkoalisi,
bersama-sama mengusung calon Presiden/Wakil Presiden. Kosep yang ditawarkan
PDI-Perjuangan sangat mulia, berkoalisi demi membangun bangsa bukan untuk
bagi-bagi kekuasaan.
Partai
yang pertama didatangi oleh Jokowi adalah Nasdem yang dipimpin oleh Surya Paloh
dan tanpa banyak persoalan, Nasdem mendukung serta mengusulkan JK sebagai Wakil
Presiden. Nasdem mendapat 6,72 % suara
pemilih dan menduduki 35 kursi DPR-RI, artinya gabungan suara PDI-Perjuangan
bersama Nasdem melebihi syarat baik 25 % suara pemilih maupun 20 % kursi
DPR-RI. Dengan demikian PDI-Perjuangan bersama Nasdem sudah dapat mencalonkan
Jokowi sebagai Presiden RI tetapi tentu PDI-Perjuangan dan Jokowi tidak dapat
menolak usul Nasdem bahwa JK yang akan menjadi Wakil Presiden.
Agar
ada beberapa pilihan calon Wakil Presiden, Jokowi lalu melangkah menemui PKB
yang menyodorkan 2 calon Wakil Presiden, yaitu Mahfud MD atau Muhaimin
Iskandar. Dengan bergabungnya PKB, Jokowi dapat memilih Calon Wakil Presiden,
satu diantara 3, yaitu JK, Mahfud MD, atau Muhaimin Iskandar. Tetapi memilih 1
dari 3 yang disodorkan tidak mudah, karena jika memilih salah satu ada
kemngkinan tidak disetujui oleh yang lain sehingga yang akan terjadi belum lagi
mendaftar ke KPU sudah harus menghadapi penolakan bahkan mungkin perpecahan.
Agar
ada ruang yang lebih luas, PDI-Perjuangan berusaha mengajak Golkar ikut
bergabung dan keinginan itu berbalas yang dapat dilihat dari kunjungan Ketua
Umum Golkar ke rumah Ibu Mega. Tetapi kerjasama dengan Golkar ahirnya menjadi
sulit karena calon yang disodorkan hanya Aburizal Bakri yang boleh ditempatkan
sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden, sedangkan di dalam Golkar banyak
kader muda yang layak dipilih oleh Jokowi sebagai calon Wakil Presiden.
Agar
masih ada ruang yang lebih luas untuk menentukan pilian, PDI-Perjuangan
berhasil mengajak Hanura sehingga total kursi DPR-RI yang didukung partai
koalisi mencapai 109+35+47+16 = 207 kursi. Cukup banyak tetapi masih kurang 74
kursi untuk mendapatkan kekuatan 50 % +1 kursi DPR-RI.
Pada
hari KPU sudah membuka pendaftaran Calon Presiden/Wakil Presiden yang akan
berlangsung hanya selama 3 hari, PDI-Perjuangan dan Jokowi tidak punya peluang
lagi memperluas pilihan calon pendamping dan harus memutuskan dari apa yang
tersedia dan tentu kekuatan setelah menang menduduki kursi Presiden harus juga diperhitungkan
agar tidak menjadi bulan-bulanan partai politik karena pendukung Jokowi tidak
mencapai 50 % + 1 kursi DPR-RI.
Walaupun
Golkar tidak berhasil diajak bergabung tetapi setelah pemilihan Presiden akan
ada pergantian pengurus Golkar menurut mekanisme 5 tahun sekali sehingga
kekuatan Golkar di DPR-RI setelah pemilihan presiden, masih mungkin digabung
dengan kekuatan PDI-Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura yang akan mencapai 298
kursi. Jumlah yang cukup untuk mendukung jalannya pemerintahan Jokowi.
JK
sebagai bekas Ketua Umum Golkar dan masih menjadi pengurus Golkar tentu saja
dapat berbuat agar setelah pemilihan Presiden kekuatan Golkar dapat mendukung
Jokowi dan dengan perhitungan itu pilihan PDI-Perjuangan dan Jokowi ahirnya
jatuh pada JK untuk mendampingi Jokowi.
Walaupun
Jokowi secara pribadi menghendaki pasangannya dari generasi yang lebih muda
tetapi situasi tidak memungkinkan Jokowi memenuhi keinginan pribadinya.
PDI-Perjuangan dan Jokowi sudah berusaha sungguh-sungguh dan tidak kenal lelah
mendapatkan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia dan hasilnya adalah
pasangan Jokowi – JK. Selanjutnya giliran kita semua memberi dukungan kepada
pasangan Jokowi – JK agar dapat memimpin bangsa dan negara Indonesai dalam 5
tahun mendatang, menjadi bangsa yang HEBAT.
Merdeka
!!!!!
No comments:
Post a Comment